Bukan untuk Dikenang

942 181 31
                                    

Ay, lolos!!!

Pesan itu dikirim Sagan dengan jantung berdentam-dentam. Senyumnya terukir. Matanya berkilat penuh harapan. Jarinya gemetar saking girangnya.

Bisa ia bayangkan Arletta yang sama leganya di seberang sana. Nanti begitu mereka bersua, ia pasti akan bilang bahwa doa si Bayik juga menembus langit, jadi harus sering-sering bicara padanya. Ah, Sagan tidak sabar ingin pulang. Diam-diam sebelum berangkat ke kampus, ia berjanji akan membelikan apapun yang Arletta mau seandainya presentasi seminar proposal hari ini lancar.

"Sagan, congratulations!"

"Mantap, nggak nyangka si paling males di kelas justru curi start duluan."

"Traktir maksi bisa, nih."

Sagan tersenyum ketika beberapa teman sekelasnya datang dari ujung koridor. Sebelum berbaur dengan mereka, dilihatnya dulu pesan tadi. Ketika jawaban Arletta tidak kunjung muncul, ia menghampiri teman-temannya. Mungkin Arletta masih repot di depan laptop. Mungkin sinyal transmisi lagi-lagi belum menembus kamar kontrakan. Begitulah pikirnya.

Salah satu temannya merangkul dan berkata, "Perlu ada perayaan, Gan. Mau dugem di mana malam ini? Lo sebut, nanti Kayas yang bayar."

"Kepala bapak lu gue sleding," sahut Kayas.

"Durhaka lo, Kay. Gue anak yatim."

"Lah, gue yatim piatu malahan."

Mereka terbahak, Sagan masih enggan membuka suara. Matanya bergerak lagi ke layar ponsel. Masih belum ada balasan dari Arletta.

"Gan, jangan dugem. Nongkrong saja, yuk." Dua perempuan merekat ke sisi Sagan.

"Setuju. Dugem mah bosen."

"Cari-cari kesempatan saja lo, Meg, Yu. Itu tangan nggak usah pada nakal. Pawangnya muncul baru tahu rasa."

"Pawangnya lagi sibuk jadi pewaris, ampe sempro cowoknya saja nggak datang."

Gadis-gadis itu terus merangkul tangan Sagan. Pihak bersangkutan berusaha melepaskan diri, tapi cuma empasan kasar yang bisa memisahkan. Dan Sagan tidak mungkin melakukannya di momen seperti ini.

Sagan punya beberapa teman di kampus. Bukan cuma di kelas, tapi juga dari unit kegiatan mahasiswa. Pamornya sebagai anak band membuatnya makin mulus dalam bersosialisasi. Hampir setiap angkatan ada yang dia kenal perkelasnya.

Namun meski begitu, tetap Kayas yang paling dekat dengannya. Cowok gondrong itu pula satu-satunya yang tahu alasan sebenarnya Arletta cuti. Orang lain tahunya teman mereka yang kaku itu sedang ditatar untuk meneruskan perusahaan orang tuanya.

"Sorry, Guys. Kayaknya gue mesti balik."

Teman-temannya berseru kecewa ketika Sagan bicara begitu. Terhadap Kayas, ia lantas memberi isyarat tersembunyi. Si gondrong mengangguk takzim. Tahu sahabatnya itu mau cepat-cepat ketemu Ayang di rumah.

"Bokapnya Sagan sudah nunggu. Kalau kelamaan biasanya berubah jadi mermaid." Kayas merangkul Sagan sok asyik. Ia juga perlahan-lahan menarik Sagan dari kerumunan. Alhasil, tangan-tangan yang melekat di sisi sahabatnya terlepas.

"Bye, Guys."

Sagan berjalan sambil dadah-dadah. Keluar dari gedung, ia langsung menambah kecepatan kaki. Sesekali matanya menatap lagi ke layar ponsel. Ketika tidak ada balasan juga, ia lantas menekan ikon telepon hijau.

Panggilannya dialihkan. Sagan menyerah, menenggelamkan layar pipih ke saku celana. Bergegas ke halte untuk pulang.

Sesampainya di gang, Sagan berjalan lebih gesit. Senyumnya merekah, wajahnya cerah. Tidak peduli celananya terciprat genangan air, cowok itu terus menambah laju ke tempat kontrakan tiga petak.

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now