Teman Qwin

951 170 67
                                    

"Qwin, kiss Mommy please."

"Owkay."

Rutinitas. Qwin mencium pipi dan kening Arletta. Pun sebaliknya. Sunggingan keduanya merekah tiap kali melakukan itu.

"Thank you." Arletta dan Qwin mengucapkannya bersamaan.

Pasangan anak ibu itu tersenyum lagi. Merasa dunia cuma milik berdua. Mereka lupa bahwa seseorang ada di antara mereka, memerhatikan di balik kemudi.

"Uncle nggak dapat kiss juga?" kata Marshal, seseorang di balik kemudi.

"Mommy said aku nggak boleh kiss sembarang orang. Iya, kan, Mommy?"

Arletta mengusap kepala Qwin. "Yep, tapi kalau mau, silakan. Sebagai ucapan terima kasih karena Uncle Marshal mau antar kita."

Qwin menimbang sejenak, sampai akhirnya setuju. Bocah berkuncir dua itu melongok ke depan ——karena ia duduk di kursi belakang—— barulah mendaratkan kecupan di pipi Marshal.

"Thank you, My Queen."

"Welcome, Uncle Mars."

Arletta membantu Qwin memakai ransel my little pony-nya. Memastikan penampilannya rapi.

"See you, Mommy. I love you."

"I love you more."

Qwin turun dari mobil. Arletta tersenyum sambil membalas lambaian tangannya. Sepasang anak ibu itu saling melemparkan kiss bye sampai jarak termakan pintu gerbang.

"Pindah depan sini," kata Marshal sambil menyalakan mesin.

"Nggak mau."

Marshal mendecakkan lidah. Kalau bukan karena terpaksa, rasanya ia tidak mau jadi supir begini. Sepupunya ini, kan, punya beberapa tenaga kerja di rumah, kenapa dia yang harus mengantarnya?

"Ya sudah kalau nggak mau, besok gue bawa mobil sendiri."

Semalam Arletta mengancam demikian. Marshal yakin ucapannya itu tidak sepenuhnya berani. Bagaimanapun, sepupunya itu masih trauma. Tapi kadang dia nekat juga. Jadi daripada ambil risiko, akhirnya Marshal setuju.

"Nanti perlu dijemput juga, nggak?" tanya Marshal ketika mobil mulai melata.

Arletta tidak langsung menjawab. Perempuan dengan blazer abu-abu itu sedang memeriksa daftar agenda di tab-nya. Banyak yang harus dilakukan di hari pertamanya ke kantor setelah dirawat. Waduh. Ia menelan ludah. Kalau sebanyak ini, sih, pulang paling cepat jam delapan malam. Masih sempat meninabobokan Qwin nggak, ya?

"Nanti gue kabari," jawab Arletta tanpa mengalihkan atensi dari tab. 

Ia meraih ponsel kemudian mencari beberapa kontak. Tangannya cekatan mengirim pesan. Matanya tajam nan fokus. Ini memang belum masuk jam kerja, tapi kalau tidak begini, ia tidak bisa pulang sebelum jam 8 malam. Tidak, Arletta tidak mau. Sudah terlalu banyak malam berlalu tanpa ia meninabobokan Qwin.

Tidak ada yang lebih berharga daripada Qwin. Arletta rela mempertaruhkan apapun demi anaknya itu. Baginya, Qwin adalah segalanya. Titik balik di masa lalunya yang hancur.

Arletta tidak mungkin lupa sebahagia apa dirinya bertemu Qwin untuk pertama kali. Bentuknya masih merah, keriput, dan dilumuri lendir. Gerakannya menggeliat sambil menangis. Semua itu membayar kontan kesakitan Arletta di momen persalinan. Tidak pernah dibayangkannya Bayik yang hampir 38 minggu dibawanya ke mana-mana itu akan berwujud senyata ini.

"Kulitnya pink banget, ya." Si keparat, yang seharian itu ditunggu, baru datang di keesokan hari. Tanpa merasa berdosa dia berkomentar seperti itu. "Hei, Bayik. Ini Papa Sagan."

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now