Sekilas Tentang Dia

1.9K 274 115
                                    

Huru-hara di dapur The Kevik dikepalai Malvi. Gadis itu sibuk, bergerak ke sana kemari. Tangannya tidak berhenti. Memotong, menumis, dan memeriksa makanan yang siap diangkut pramusaji. Anehnya, lima piring menu tersaji, lima belas pesanan datang mengantri. Terus begitu tanpa henti.

Pertemuan wajan dan spatula menggenderang di dalam dapur. Sahutan pelayan yang hilir mudik, juga letupan minyak, berpadu dengan suara kompor gas. Keseruan di jam makan siang ini semakin seru dengan udara yang kian panas. Aroma hidangan ikut mendobrak sampai meja pelanggan, bahkan pintu masuk.

"Ini masih kurang pas, coba ditambahain kecap dua sendok."

...

"Hmm, oke. Minta tolong langsung plating, ya."

...

"Ini biar aku yang kerjain. Mas Kay bantuin Chelsea sama Mylo saja di depan, kayaknya kasir mesti buka satu lagi."

...

Sebagai calon pewaris kafe, biasanya Malvi beraksi di dapur hanya pada waktu tertentu. Racikan rahasia selalu ia siapkan di lemari es, nanti pegawai tinggal memadukannya dengan bahan makanan. Segala cara dan tips juga sudah disampaikan sejak mereka bergabung. Kalau tidak perlu-perlu amat, Malvi kadang tidak datang ke The Kevik. Cukup memantau secara daring.

Hari ini The Kevik dibanjiri pelanggang. Maklum, tanggal gajian. Dari luar kafe, waiting list mengantri sempurna, begitu juga orderan lewat aplikasi daring. Ditambah ada dua koki yang absen maka mau tidak mau Malvi ikut terjun meski kepalanya masih pusing.

Malvi tidak cukup tidur semalam. Ia kembali dari rumah sakit sekitar pukul satu, tepatnya setelah si polisi muda bicara terkait pemeriksaan. Dan seperti membuktikan ucapannya, pagi-pagi sekali Malvi diminta menghadap kepolisian untuk memberikan keterangan. Dari kantor polisi, Malvi langsung berangkat ke The Kevik begiti menerima pesan terkait absennya dua koki.

"Makasih banyak, Bu Malvi. Sudah bisa ditinggal dapurnya," ucap salah satu koki.

Malvi melihat sekeliling untuk memastikan. Jam menunjukkan pukul dua tepat. Keadaan dapur tidak seheboh satu jam lalu. Antrian pesanan pun tidak lagi membludak. Baiklah, Malvi bisa melepas mereka sekarang. Sekaligus istirahat makan siang.

Ketika sedang mencuci tangan, mata Malvi mengarah ke tempat parkir. Kebetulan jendela dapur menghadap langsung ke lokasi tersebut. Di sana terlihat motor Sagan baru memasuki pelataran. Dan begitu melihat kekasihnya itu melepas helm, bahu Malvi merosot seperti ditimpa karung beras.

Penampilan Sagan tampak kacau. Rambut kusut masai, wajah pucat, dan pakaiannya belum diganti sejak semalam. Malvi terka, dia juga pasti belum makan juga. Duh, kasihan pacarku. Pikirnya seraya melepas pakaian dapur. Siap menghampiri lelaki yang baru memasuki kafe itu.

"Kacau banget, Gan."

Malvi kalah cepat. Kayas, salah satu pegawai kafe, sekaligus sohib Sagan, muncul duluan seraya bertanya. Cowok berambut gondrong sebahu itu duduk mengikuti Sagan di meja paling sudut. Malvi mengikuti, mengambil posisi saling hadap dengan Sagan.

"Qwin dan Letta gimana?"

Sagan menggeleng lesu. Berbeda dengan Kayas yang kembali bertanya, Malvi sudah bisa membayangkan keruwetan di kepala kekasihnya itu. Jadi dia memilih diam.

"Enak banget jadi si Sulthan, ya. Sekali lapor langsung diurus. Dulu tetangga gue lapor motor hilang cuma direspons gini : 'sabar, ya. Di daerah situ memang rawan curanmor'. Kampret!"

Sagan tidak bereaksi atas celetukan Kayas. Menyadari itu, si gondrong lantas mencari pembendaharaan kata yang lebih baik

"Lo tenang saja, Gan. Kebenaran nggak akan bisa disembunyiin. Si Sulthan bakalan sadar nggak semua presepsinya benar."

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now