Titik Baru

902 190 100
                                    

Sagan menerima berita kematian Sulthan beberapa jam kemudian. Papi meninggal. Dua kata saja. Dikirim oleh Arletta dan tidak dibalas lagi saat Sagan bertanya lebih rinci. Ketika menghubungi Marshal untuk memastikan, pria itu juga tidak langsung menjawab. Dia baru menelpon setengah jam kemudian, itupun begitu singkat.

Kalau menuruti ego, Sagan sebenarnya enggan untuk melayat. Sulthan masuk daftar manusia terbabi nomor dua setelah ayahnya. Kegelapan  hidupnya didominasi oleh  pria itu. Dulu bahkan ia pernah bertekad akan mengencingi kuburan pria itu kalau dia berpulang.

Sekarang jangankan mengencingi, pernah berpikir begitu saja rasanya terlalu keji. Umur manusia memang tidak ada yang tahu. Kemarin mereka masih saling tatap. Sulthan di dekat tangga, Sagan di muka pintu. Tidak disangkanya komunikasi sekilas itu adalah yang terakhir.

Setelah menimbang-nimbang, Sagan memutuskan untuk datang. Arletta dan Qwin yang dijadikannya alasan. Nadin juga, walau cuma sedikit. Ia sempat teringat nasihat mendiang ibunya, yakni, tetaplah bersikap baik pada sesama, separah apapun keadaannya.

Ketika Sagan keluar dari ruangan manajer, ia berpapasan dengan Malvi. Gadis itu nyaris terjengkang kalau saja Kayas tidak menahannya dari belakang.

"Weh, santai, Bos," ucap si gondrong itu. "Buru-buru amat kayak dikejar domba."

Sagan mengabaikan kelakarnya. "Na, Mas mau ngelayat Om Sulthan."

"Kebetulan. Bos Malvi juga mau." Kayas yang masih berdiri di belakang Malvi mengedipkan sebelah mata ke arah Sagan. "Bareng saja kalian."

"Mas Kayas sudah janji mau anterin," jawab Malvi seraya berbalik. "Shift-nya sudah selesai, kan?"

"Gue baru inget mau ketemu sutradara teater." Kayas menyugar rambut panjangnya ke belakang. "Kalau mau nunggu, hayu saja."

"Berapa lama?"

"Lima tahun, lah." Kayas terkekeh. "Nggak, deng, lima jam maksudnya."

Sagan tahu sahabatnya itu cuma cari-cari alasan. Ia harus berterima kasih. Si gondrong itu paling tahu cara mendukung sobat.

"Bareng Mas saja, ya, Na."

Malvi tidak langsung menjawab.

Kayas, sekali lagi paham keadaan, langsung menekan bahu Malvi ke hadapan Sagan. Meski kelihatannya enggan, gadis bertahi lalat di bawah dagu itu akhirnya pasrah. Sagan berterima kasih lewat tatapan mata ketika keluar The Kevik, Kayas mengacungkan dua jempol.

"Naik motor nggak apa-apa, kan?" tanya Sagan ketika mereka melangkah di tempat parkir.

Malvi mengiakan tanpa melihat ke arah Sagan.

Saat mereka tiba di motor, Malvi sudah bersiap naik. Tapi Sagan mencegahnya dengan suara tenang. Katanya, joknya harus dibersihkan dulu. Malvi menunggu lelaki itu mengelap tempat duduk sambil berdumal dalam hati, dasar maniak bersih-bersih!

Sagan mengambil jaket dan helm di dalam bagasi, barulah mempersilakan Malvi menunggangi kursi belakang. Tidak mau kecolongan, Malvi mengambil dua benda di tangan Sagan terlebih dulu. Ia tidak mau kecurian start. Nanti Sagan pasti membuatnya bernostalgia dengan cara memasangkan helm dan jaket. Tidak, terima kasih! Ia bisa sendiri.

"Ayo," kata Malvi saat keduanya duduk di motor.

Sagan membalikkan tubuh sebentar. Tahu-tahu tangannya melepas helm Malvi. Ia merapikan helaian rambu gadis itu, barulah memasang ulang pelindung kepala. Senyumnya dikulum saat ia menekan bagian pengunci.

"Kenapa ganti shampo, Na?"

Malvi mengernyit, heran Sagan bisa tahu.

"Parfum juga."

Kaus Kaki yang HilangHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin