Tanpa Restu

1K 199 148
                                    

"Oh, jadi pacar lebih penting ketimbang anak?"

Sagan memijat pangkal hidung sambil memikirkan jawaban untuk Arletta di sambungan telepon. Kecemasan yang mencekam hatinya sejak membuka mata bertambah lagi. Bukan saja karena agenda bersama Malvi, melainkan Qwin juga.

Sejak Arletta jadi investor di The Kevik, aturan mengenai perjumpaan Qwin bergeser. Sagan tidak lagi diberi jatah 48 jam sebulan untuk menemui putrinya. Sekarang kapanpun Qwin mau bertemu, Sagan bisa langsung datang. Di rumah, sekolah, tempat les, di manapun.

Awalnya Sagan senang akan pergeseran aturan tersebut. Tapi kemudian ia sadar pembagian waktunya jadi agak berantakan. Sekarang, 24 jam rasanya masih kurang dalam sehari. Ada durasi yang tersita dan terpaksa mengorbankan hal lain.

"Bukan gitu, Ar. Tolong kamu kasih pengertian sama Qwin. Hari ini memang nggak bisa. Kemarin sudah kubilang juga, kan?"

Di seberang sana Arletta menyahut, "Qwin, kita pergi berdua. Papamu ada urusan sama pacarnya."

Sambungan diputus sepihak. Sagan mengembus napas sambil memasukkan ponsel ke saku. Saat ia berbalik, Malvi sedang melihat ke arahnya dengan tangan memangku dagu. Sagan sudah tahu apa yang akan dikatakannya begitu ia kembali ke tempat Malvi duduk.

"Kenapa lagi dia?"

Sagan tidak menjawab. Ia mengajak Malvi berdiri dengan meraih tangannya. "Nggak usah dipikirin. Hari ini harus jadi. Ayo."

Malvi mendampingi langkah Sagan keluar dari The Kevik. Mereka berjalan ke tempat parkir. Berpisah di kursi pengemudi dan penumpang.

Karena yang hapal jalan adalah Sagan, Malvi cuma bisa pasrah sepanjang mobil melata. Yang ia tahu, pacarnya ini akan mengajaknya bertemu sang ayah. Malvi menganggap hal ini sebagai progres hubungan mereka. Sebab bagaimanapun, selama ini Sagan tidak pernah membicarakan keluarganya secara detail. Dia cuma bilang ibunya meninggal saat ia lulus SMA, sementara sang ayah membiarkannya hidup mandiri.

Satu jam kemudian mobil mereka berhenti. Malvi melihat Sagan tengah mengatur napas.

"Kok, malah kamu yang lebih nervous, Mas?" Ia mencoba mencairkan suasana. Sejujurnya ia juga gugup. Agak takut kalau ayahnya Sagan jauh dari ekspektasi.

"Kelihatan, ya?"

"Tangan Mas gemetaran gitu."

Sagan menggaruk tengkuk meski tak gatal. Ia menarik senyum tapi sumiran itu justru kelihatan kaku. Tidak bisa ditampik kalau ia gelisah sejak bangun tidur. Sepanjang jalan tadi tangannya dingin dan jantungnya berdebar gila.

Ini rencana yang sudah disusun jauh-jauh hari, tapi baru sekarang Sagan merealisasikannya. Selain kesibukan yang cukup menyita, ia butuh tekad yang bulat. Padahal kalau dipikir-pikir, apa susahnya bagi seorang anak untuk bertemu ayahnya?

Tapi begitulah, bagi Sagan, hubungannya dengan sang ayah memang agak rumit. Lebih banyak hal buruk yang ia ingat mengenai si pemberang itu. Dulu, ia pernah berkelahi dengan anak Pak RT. Alih-alih dibela, atau paling tidak diberi nasihat, ia justru lanjut dipukuli. Cara ayahnya memelotot sambil menyeret kerah bajunya, kemudian melepas ikat pinggang, dan disusul cambukan tanpa ampun di punggung, semua itu membekas di benak Sagan. Kalau tidak dihalangi mendiang ibunya, Sagan yakin sudah game over hari itu juga.

"Mas." Malvi menyadarkan Sagan dari lamunan. Sorot mata gadis itu memancarkan kekhawatiran. "Kalau belum siap nggak usah dipaksain."

Malvi meremas tangan Sagan, lelaki itu mengatur napas lagi. Setelah darahnya mengalir lebih tenang, ia mulai bersuara.

"Kita ke sini cuma untuk ngenalin kamu, Na. Biar kamu tahu Mas punya ayah. Nanti setelah kita nikah, kamu nggak perlu berurusan sama dia."

"Emang ayah Mas seburuk itu, ya?"

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now