Saling Tuduh

1K 210 177
                                    

Kesalahan terbesar yang dilakukan Malvi hari ini adalah datang ke kafe. Seperti biasa, ia tiba paling pagi, sendirian. Awalnya memang berjalan lancar, tapi kemudian mimpi buruk itu muncul. Untuk kedua kali.

Banyak wartawan yang mendadak muncul di depan pintu. Selain membawa gawai, kamera, catatan, dan perekam, mereka juga telah mengantongi pertanyaan yang terasa menyudutkan. Langsung saja niat Malvi untuk membuka kafe raib. Setelah menutup tirai, juga mematikan lampu, gadis itu berdiam diri di ruangan manajer.

Beberapa kali ponselnya berdering. Kebanyakan dari nomor asing. Malvi tidak mau ambil pusing. Setelah mengirim pesan pada semua pegawai——bahwa hari ini libur—— gadis itu memastikan tidak ada lagi kring-kring.

Malvi memgangi jantungnya yang berdebar dua kali lipat. Setelah polisi mengkonfirmasi bahwa obat yang dikonsumsi Sulthan adalah milik Arletta, namanya ikut terseret. Pertama, botol obat pernah ketinggalan di mejanya. Kedua, sehari sebelumnya ia ada di rumah Sulthan. Ketiga, ia sempat mengunjungi sekitaran TKP.

"Ya, waktu itu botol obatnya sempat ketinggalan," kemarin Malvi diinterogasi lagi. Pertanyaan pertama seputar botol obat.

Demi Tuhan, saat itu sangat resmi. Tatapan Marshal begitu menusuk. Garis bibirnya lurus. Air mukanya melukiskan seprofesional apa dia. Mereka bukan seperti teman. Hanya pihak berwajib dan saksi.

"Sempatkah Anda memeriksanya?"

"Ya, tapi sebentar. Cuma informasi label. Obat anti depresan, harus diminum satu kali sehari."

"Ingatkah Anda berapa jumlah yang tertera di botol itu?"

Malvi diam sejenak. Sambil menggigit bibir bawah, ia mencoba menggali memorinya. Ia tidak sempat menghitung, tapi tampaknya belasan. Atau mungkin tidak, entahlah.

"Nggak ingat, Pak. Saya benar-benar cuma fokus sama labelnya."

Marshal mengangguk takzim sambil mengusap dagunya.

"Tanggal 13 Desember, saat acara diselenggarakan, siapa yang mengusulkan agar Anda menggunakan lantai dua untuk ke toilet?"

"Kalau nggak salah, ART atau suster, pokoknya di antara itu. Waktu itu memang kebelet banget."

"Apa saat itu ada antrian lain yang juga nunggu toilet?"

"Ada."

"Dan mereka memilih tetap antri di bawah ketimbang ikut Anda ke lantai dua."

"Mungkin karena nggak sekebelet aku."

Marshal diam sejenak sebelum mengajukan pertanyaan baru.

"Jujur saja pengakuan barusan perlu validasi untuk bisa diterima. Apalagi seseorang juga sempat mengaku berpapasan dengan Anda. Dia bilang sikap Anda aneh."

"Kalau celingukan mencari jalan dibilang aneh, maka ya, aku akui itu."

Malvi menahan geram dalam nada suaranya. Seseorang yang dimaksud pasti Arletta. Si janda arogan itu, awas saja kalau mau cari masalah!

"Itu pertama kalinya aku ke situ, Pak. Dengan ukuran rumah yang begitu besar, wajar kalau aku kebingungan."

Jawaban itu entah masuk akal atau tidak. Marshal hanya mencatat diikuti pertanyaan baru. Kali ini soal sarung tangan yang dipakainya saat memperbaiki kue.

"Kami tidak menemukan sarung tangan itu di rumah korban. Ke mana Anda membawanya?"

"Aku membuangnya pas nyampe di kafe. Kalaupun Bapak mau tahu alasannya, itu memang SOP kafe. The Kevik nggak pernah ninggalin peralatan masak di tempat customer."

Marshal mencatat lagi, air mukanya tetap datar. Malvi merasa sebentar lagi akan ada petugas yang diminta mencari si sarung tangan tadi. Taruhan, pembuangan sampah sudah sampai di TPU. Kasihan juga kalau harus diminta.

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now