Kenangan Retak

961 183 50
                                    

"Ay, bangun. Sudah siang."

Hal pertama yang Arletta lihat adalah senyum Sagan yang memikat. Langit-langit kamar dengan bercak cokelat bekas hujan terlalu kontras dengan sebingkai wajahnya. Gigi Sagan berkilau. Napasnya segar. Sekujur wajahnya seperti ikut tersenyum.

Ketika Arletta hendak duduk, tiba-tiba saja Sagan menyanyikan lagu ulang tahun. Kekasihnya itu memegangi black forest berdiameter sepuluh senti. Lilin berbentuk angka dua dan nol menancap di atasnya. Senyum Sagan makin menjadi candu di balik lilin yang menyala.

"Selamat panjang umur dan bahagia."

Arletta menatap Sagan dengan berkaca-kaca. Air mata dan sisa belek mulai membaur. Ia ikut merekahkah sumiran ketika Sagan mendekatkan kue ke wajah.

"Selamat ulang tahu, Cantik," bisik Sagan sambil membantu Arletta duduk. Beberapa bantal ditaruhnya di punggung Arletta yang sudah sangat kepayahan menumpu Bayik. "Make a wish sebelum tiup lilin, Ay."

Arletta memejam sejenak, merapalkan doa dalam hati, barulah mematikan api.

"Potongan pertama untuk yang paling spesial," kata Sagan.

Arletta membelah kue cokelat di hadapannya. Sagan menunggu dengan senyum yang tidak kunjung lepas. Ketika Arletta mencomot kue dan mendekatkan ke mulut Sagan, lelaki itu membuka mulut lebar-lebar.

Sebelum kue masuk ke mulut, Arletta memutar arah kue. Suapan pertama masuk bibirnya sendiri. Sagan cemberut karena merasa dipermaikan.

"Bayik yang mesti makan duluan," kata Arletta dengan pipi gembul sebelah menampung kue.

Sagan tidak protes. Ketika Arletta memotong bagian baru dan menyodorkan ke mulutnya, lelaki itu tidak mau ditipu untuk kedua kali. Arletta terkekeh melihat wajah Sagan yang ragu-ragu ngarep. Sampai sodoran menginjak lima detik, barulah Sagan melahap kuenya.

"Bangun jam berapa kamu, sampai-sampai bisa siapin semua ini?"

Sagan memotong kue untuk dirinya sendiri, langsung melahapnya bulat-bulat. "Lima kalau nggak salah."

Karena Sagan makan dengan cepat, sudut bibirnya jadi terkena krim. Arletta langsung menyekanya dengan ibu jari.

"Hari ini kita ajak Bayik main, yuk."

Arletta menaikkan satu alis. "Emang nggak bimbingan?"

Sagan menggeleng semangat. "Pembimbingku ubah jadwal ke besok. Kebetulan juga hari ini aku bisa cuti."

"Serius?"

"Yep." Sagan mengangguk-angguk. "Ini saat yang tepat untuk bikin Bayik senang."

"Bayik saja yang dibikin senang?"

"Nggak, dong. Mamanya juga."

Arletta menadahkan tangan. "Kalau gitu, mana kado buat yang ultah?"

"Oh, sudah kusiapkan kalau itu."

Sagan beringsut dari dipan. Berjalan mundur dengan tangan disembunyikan ke balik punggung. Sambil senyum-senyum, ia mengambil sesuatu dari saku celana. Tanpa aiueo, dia melipat kaki ke bawah, menumpu tubuh dengan lutut. Kedua tangannya mengangsurkan kotak merah beludru. Yang di tengah-tengahnya ada cincin.

"Arbaletta Sitra Kanara, ayo, kita menikah."

Arletta tertegun. Meski sebelumnya pernah membayangkan hal ini ——tapi tidak dalam keadaan sedang berbadan dua—— ia cukup terkejut. Modal percayanya itu ternyata mengarah ke sini. Sagan melamarnya, astaga! Tanpa bisa dicegah, mata perempuan itu berkaca-kaca lagi. Kemudian sebutir bening di kedua pelupuk matanya pecah.

Kaus Kaki yang HilangWhere stories live. Discover now