Bab 10B

2.1K 217 2
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca duluan, bisa ke Karyakarsa, bab 38-40 sudah update.

Yang mau baca duluan, bisa ke Karyakarsa, bab 38-40 sudah update

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Luv,

Carmen

_____________________________________________________________________________

Setelah menyesap minuman, kami lalu melihat daftar menu. Kami berdua setuju untuk men-skip menu pembuka dan langsung memilih menu utama. Aku membiarkannya memilih menu untuk kami berdua karena pikiranku masih kacau karenanya.

"Jadi, Alanis, beritahu aku tentang dirimu. Apa kau punya saudara?"

"Tidak ada, I wish I had... tapi ibuku meninggal ketika aku masih kecil dan ayahku pernah menikah sekali setelahnya, tapi sayang, janin mereka meninggal dalam kandungan ketika baru berusia beberapa bulan. Dan tak lama, mereka juga berpisah. Setelah itu, ayahku tidak pernah menikah lagi, juga tidak memiliki anak lain lagi selain aku," ujarku. "Bagaimana denganmu, kau punya saudara, adik, kakak?"

Aku hanya bertanya basa-basi, karena sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.

"Ya, seorang kakak lelaki, George dan juga seorang kakak perempuan bernama Silvia," jawabnya."

"Dan orangtuamu?" lanjutku lagi.

"Ayahku bernama Michael, dan ibuku Katherine. Mereka sudah menikah hampir 40 tahun lamanya."

"Wow... 40 tahun," bisikku takjub.

"Mereka sudah saling kenal sejak high school. Ayahku bekerja sebagai pengacara selama 8 tahun sebelum mulai membangun firma hukumnya sendiri dan ibuku suka dengan kegiatan sosial, dia memiliki beberapa yayasan sosial."

Dari yang kubaca, keluarga pria itu adalah salah satu keluarga paling prestisius dan tua di kota ini dan memiliki koneksi yang luas serta kuat.

"Bagaimana dengan orangtuamu, ceritakan sedikit tentang mereka," pinta pria itu.

"Ayahku... ayahku bernama James. Dia seorang arsitek yang brilian. Saat ini dia ada di Eropa, sedang mendesain sebuah megaproyek di sana. Bangunan yang kutinggali, itu salah satu hasil karyanya," ujarku sambil tersenyum.

"Dia mendesainnya untuk ayahku," jawab pria itu enteng.

"Apa?" Jadi ayah pria itu pemiliknya?

"Ayahku yang memiliki Brasserie, bangunan yang kau tinggali itu adalah salah satu jaringan Brasserie," jelas pria itu.

"Oh... wow..." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Lanjutkan, ceritakan lagi lebih banyak tentang keluargamu padaku," dorong pria itu.

"Ibuku bernama Emily, dia adalah salah satu atlit renang yang seharusnya berkompetisi di Olimpiade. Tapi karena hamil, dia terpaksa melepaskan mimpinya. Setelah aku lahir, dia memutuskan untuk tetap tinggal di rumah dan membesarkanku. Setelah aku bersekolah, dia kemudian memutuskan untuk menjadi guru dan juga pelatih di tim renangku. Tapi tak lama setelahnya, dia jatuh sakit dan aku kehilangannya saat berusia 10 tahun." Aku berusaha menekan rasa sedihku saat membicarakan bagian itu tapi aku harus menerima kenyataan tersebut.

"I am sorry about your mother," ujar pria itu bersimpati sambil mengelus tanganku. "Jadi setelah lulus, apa rencanamu?"

"Law School," ujarku tegas.

"Aku ingat saat aku membuat keputusan untuk masuk ke sekolah hukum, walaupun ayahku yang berperan lebih banyak untuk keputusanku itu," ujarnya dan aku bisa merasakan kepahitan dalam suara pria itu.

"Ayahku juga mempengaruhi keputusanku, begitu juga ibuku," ujarku. "Ibuku bercita-cita menjadi pengacara tapi dia memilih untuk memilikiku dan menunda mimpinya. Setelah ibuku meninggal, ayahku sangat ingin aku mewujudkan mimpi ibuku."

"Kalau bisa, bidang apa yang sebenarnya ingin kau pilih?" tanya pria itu kemudian.

"Aku... aku suka arsitektur. Aku suka mendesain bangunan dan rumah," jawabku.

"Like father, like daughter."

Aku tertawa lembut. "Ya, kurasa kau boleh menyebutnya begitu. Ayahku sebenanya suka merestorasi bangunan tapi akhir-akhir ini, dia lebih banyak merancang dan membangun bangunan-bangunan modern dan inovatif. Cukup tentang aku, bagaimana denganmu, apa hobimu?"

"Kalau tidak sedang menangani kasus, aku suka bepergian, bermain rugby, juga basketball. Bagaimana denganmu?"

"Aku suka berenang, menonton di tengah malam dan suka semua makanan yang ada white chocolate-nya."

Pria itu tertawa mendengar kata-kata terakhirku.

Kami lalu berbicara lebih banyak, menceritakan lebih banyak tentang kami, sahabat-sahabat kami, lalu melompat ke topik politik sampai makanan kami tiba.

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan menikmati percakapan dengannya. Kupikir tujuan utamanya adalah membawaku ke tempat tidur secepatnya, tapi aku salah. Tapi kemudian aku memberitahu diriku sendiri bahwa mungkin ini adalah taktik pria itu untuk membawa wanita ke tempat tidur. Tapi lantas kenapa, aku memang partisipan bersedia, bukan?

Setelah menyelesaikan makan malam, kami kemudian memutuskan untuk memesan makanan pencuci mulut. Setelah selesai, pria itu kemudian berdiri dan menjulurkan tangannya padaku.

"Ke mana kita akan pergi?" tanyaku padanya.

"Kembali ke penthouse-ku," jawabnya. "Is that okay with you?"

"Ya," jawabku tanpa ragu.

Scandalous Love with Professor - Skandal Cinta dengan Sang ProfesorWhere stories live. Discover now