Bab 2A

3.7K 206 1
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca duluan, boleh ke Karyakarsa. Bab 7 - 9 sudah update, mengandung adegan 21+ ya.

 Bab 7 - 9 sudah update, mengandung adegan 21+ ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Luv,

Carmen

______________________________________________________________________________

Dan di sinilah aku sekarang, masih berputar-putar bingung di lorong ini setelah sepuluh menit, mencoba mencari ruang kelas yang dimaksud sambil menenangkan kepanikanku.

"Kau seperti anak ayam yang tersesat."

Sebuah suara maskulin bernada geli berbicara dari belakangku. Aku pelan menoleh dan mendapati seorang pria tinggi besar sedang menatapku. Dia mengenakan kaos berkerah gelap dengan jins biru tua. Mataku bergerak untuk menatap wajahnya dan mendapati bahwa pria itu memiliki sepasang mata cokelat yang menarik. Pria itu tampan, dengan rambut pirang pendek dan senyum ramah yang bisa mengacaukan denyut jantung. Senyumnya bertambah lebar ketika mendapati bahwa aku bergeming di hadapannya. Aku buru-buru melonggarkan tenggorokanku.

"Yah, kurasa kau benar. Aku tersesat."

"Kau mahasiswa baru?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Tidak, bukan... senior, sebenarnya. Ini adalah semester terakhirku sebelum aku mendapatkan gelar sarjanaku," ucapku, lebih ke bangga.

"Ini juga tahun terakhirku. I am studying for my Masters."

"Oh, wow, Masters," ucapku antusias.

"Ya, jurusan English. Aku ditransfer ke sini setahun yang lalu. Namaku Shawn."

Pria menjulurkan tangan dan aku menjabatnya.

"Aku Alanis," ucapku sambil membalas senyumnya. "Tapi aku benar-benar harus pergi sekarang, aku sudah terlambat."

"Di mana kelasmu?"

"Ruangan 468. Aku sudah menyusuri aula koridor ini dan hanya ada sampai ruangan 300 sekian," jelasku.

"Oh, kau harus naik satu lantai lagi. Elevator ada di ujung koridor, sebelah kiri. Kau butuh bantuanku?" tanyanya kemudian.

Cara pria itu tersenyum, caranya menatapku, bagaimana dia mendekat, aku tahu dia sedang merayuku. Pri itu memang tampan tapi...

"Tidak... tidak usah, terima kasih. Aku rasa aku bisa menemukannya," jawabku sambil tersenyum. "Thanks for the help."

Sekali lagi aku melirik jam di ponselku dan mengerang dalam hati.

"Sial!" makiku lagi saat aku masuk ke dalam elevator.

Saat pintu elevator terbuka, aku bergegas keluar dan menyusuri koridor untuk mencari ruangan 468. Aku sudah terlambat lebih dari setengah jam. Saat tiba di ruangan yang dimaksud, aku berdiri di luar sejenak untuk menenangkan napas sementara terdengar suara dari balik pintu tersebut. Setelah merasa sedikit tenang, aku pun masuk ke dalam ruangan kelas tersebut.

Barisan kursi memenuhi ruangan itu dan aku mengira sekilas, mungkin setidaknya ada 50 mahasiswa di dalam sini. Aku lalu menoleh ke depan kelas dan melihat Profesor Eckert yang berdiri menghadap whiteboard dan sedang menulis sesuatu di atasnya.

"Class!" Suara maskulinnya yang berat bergema di seluruh ruangan kelas dan mengejutkanku yang tidak siap. "Bisakah seseorang memberitahuku tentang peraturan keterlambatan di universitas ini?!" ucapnya sambil kemudian berbalik dan menatap lurus padaku.

Aku merasa seperti mangsa yang tertangkap oleh raja hutan dan hanya bisa membeku di tengah ruangan kelas. Mataku bertemu dengan sepasang mata hijau gelap yang luar biasa menyihir dan tatapan tajamnya terarah lurus padaku dan hanya padaku. Aku berusaha untuk tidak memperhatikan rambut hitam legamnya yang sedikit berantakan. Wajahnya yang tampan dan maskulin membuatku tidak bisa mengalihkan mata walaupun aku sangat ingin melakukannya – tapi alam bawah sadarku sepertinya terperangkap di bawah tatapan tajam tersebut dan aku tidak berdaya memutus kontak itu.

Suara batuk halus yang akhirnya memutus kontak mata kami. Pria itu mengalihkan tatapnya dariku dan menatap mahasiswanya yang berada di barisan depan.

"Mr. Finn," tunjuknya pada pria yang mengangkat tangannya. "Coba jelaskan padaku."

Pria yang ditunjuk itu berdiri lalu kembali berdeham sebelum menjawab. "Menurut peraturan kampus, bagian III, para mahasiswa diharuskan untuk hadir mengikuti kuliah tepat waktu. Tiga keterlambatan sama dengan satu kali ketidakhadiran. Alasan keterlambatan bisa diterima dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap mahasiswa hanya diperbolehkan tidak hadir sebanyak 3 kali sebelum dia dikeluarkan dari kelas tersebut dan dinyatakan tidak lulus dalam subjek yang diikutinya."

"Terim kasih, Mr. Finn." Lalu pria itu beralih kembali menatapku. "Jadi, berhubung sekarang kau sudah tahu tentang peraturan kampus ini, mungkin kau punya alasan untuk menjelaskan keterlambatanmu?"

"Umm... aku..." gagapku.

"Umm bukanlah kata," seringainya jahat. "Jadi kau punya pembelaan atas kasusmu?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Tidak, Sir."

"Tidak apa? Tidak, kau tidak punya alasan atas keterlambatanmu atau tidak, kau tidak akan mengajukan keberatan atas kasusmu?" tanya pria itu lagi.

Oke, pria itu mulai membuatku kesal. Tapi aku harus bersikap tenang, bagaimanapun, ini bukanlah tempat untuk berdebat.

"Tidak untuk kedua-duanya, Profesor Eckert," jawabku kemudian. Aku tidak punya alasan atas keterlambatanku, kecuali bila dia menerima alasan bahwa aku terlambat karena terlalu sibuk menggosipkannya. Aku juga tidak bisa membantah karena pada kenyataannya, aku memang terbukti terlambat.

"Semua orang di sini sepertinya memahami peraturan tersebut, kecuali dirimu, Miss...?"

"Alanis Hope, Sir."

"Miss Hope."

Aku mendesah pelan, benar-benar hari yang buruk.

"Jadi apa kau mengerti tentang pentingnya kelas ini yang hanya berlangsung 16 minggu dengan pertemuan intens selama empat kali dalam seminggu, Miss Hope?" tanyanya lagi tajam, dengan nada seolah-olah aku hanyalah anak kecil yang menyebalkan.

"Ya, Sir," jawabku. "Aku mengerti."

"Baiklah, Miss Hope, aku tidak akan mempermasalahkan hal ini karena kelas formal baru dimulai besok," ujarnya kemudian. "Duduklah."

Scandalous Love with Professor - Skandal Cinta dengan Sang ProfesorWhere stories live. Discover now