Bab 3A

2.8K 224 0
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca lebih cepat, Bab 12 - 15 sudah ada di Karyakarsa. Mengandung adegan dewasa ya.

 Mengandung adegan dewasa ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Luv,

Carmen

______________________________________________________________________________

Akhirnya, dengan segepap kendali diri yang kumiliki, aku berhasil keluar dari ruangan kelas. Jantungku berdebar begitu hebat ketika aku masuk ke dalam elevator.

"Ada apa sih denganmu, Alanis?!" marahku pada diriku sendiri.

Aku mengulang kembali percakapan kami dan bagaimana pria itu bersikap dan aku tidak bisa menemukan kesalahannya. Rasanya tidak ada masalah, tidak ada yang salah dengan pria itu, tidak ada yang salah dengan interaksi kami. Reaksiku-lah yang tidak biasa. Aku menyadari bahwa aku senang berbiara dengannya, aku menyukai nada suaranya, aku juga menyukai senyum pria itu, bahkan aromanya, tatapan matanya dan aku menyadari bahwa satu-satunya hal yang tidak kusukai, satu-satunya yang menjadi masalah adalah aku takut aku akan tertarik padanya. Itu membuatku merasa seperti salah satu dari para wanita putus asa yang jatuh pada pesona ayahku. Sebelumnya, aku pikir kalau Profesor Eckert itu egois, pria mesum, berengsek dan tidak memiliki moral tapi entah kenapa, untuk beberapa alasan yang tidak kumengerti, aku merasa bahwa dia itu sangat tampan dan memesona dan bahkan mudah sekali disukai.

"Oh God... kau benar-benar kacau, Alanis," rutukku lagi.

Lalu aku mengingat kembali nasihat lama yang diajarkan oleh mendiang ibuku.

Never judge a book by its cover.

Bagaimana mungkin aku bisa menyimpulkan siapa pria itu hanya dari satu percakapan sederhana? Hanya dalam waktu sesingkat itu?

Tapi pria itu memang memesona dan sungguh mudah untuk menyukainya...

Aku mendesah lalu menatap pantulanku sendiri di cermin dinding elevator. Apa yang harus kulakukan pada diriku? Well, aku hanya manusia biasa... aku seorang wanita... aku tidak sepenuhnya kebal terhadap lawan jenis dan itu wajar. Sebagian diriku memintaku untuk menukar kelas Tata Kelola Pemerintahan ini dengan profesor lain tapi aku tahu tidak ada gunanya, karena pria itu adalah satu-satunya profesor yang bisa menangani kelas mata kuliah ini setelah Profesor Kurt meninggal.

Aku mendesah lagi. Karena tidak bisa menghindar, maka aku hanya perlu terus mengingatkan bahwa Profesor Eckert adalah segala sesuatu yang tidak aku sukai dari seorang pria, segalanya tentang pria itu sangatlah salah di mataku dan alih-alih merasa aku menyukainya, aku harus berpegang teguh pada pendapat awalku – jauhi pria itu sejauh-jauhnya. Dan aku juga perlu mengingat bahwa aku sudah hampir menyelesaikan tahun terakhirku di kampus ini, jadi aku hanya perlu fokus.

Saat akhirnya keluar dari bangunan kampus, aku bergegas menuju tempat parkir. Aku membuka mobil Mercedes putih baruku dan masuk ke dalam. Mobil ini adalah hadiah dari ayahku musim dingin kemarin karena aku berhasil masuk ke sekolah hukum. Bagiku ini adalah mobil terkeren yang pernah ada dengan exterior putih dan chrome yang elegan dan anggun. Begitu masuk, aku menyalakan musik klasik untuk merilekskan saraf-sarafku. Saat berkendara pulang, panggilan dari Claire pun masuk.

"Jadi, how was he?" tanya sahabatku itu tanpa basa-basi.

"Siapa dia yang kau maksudku?" tanyaku pura-pura tak mengerti.

Claire berdecak tidak sabar. "Eckert, siapa lagi?"

"Dia... dia... dia seperti yang orang lain gambarkan... rupawan... pintar dan seksi," ucapku.

"Seksi? Oh... ini tidak terdengar seperti Alanis yang aku kenal," goda Claire dan aku tertawa.

"Oke, kuakui, dia cukup menyenangkan dan baik... cukup membuatku terkejut, sebenarnya. Dan dia bahkan tidak memberiku poin keterlambatan," tambahku lagi.

"Kalau begitu, bukankah bagus?"

"Kami bahkan sempat berbincang-bincang sebentar sebelum aku meninggalkan kelasnya."

"Kau terdengar... senang. Apa kau mulai naksir pada profesor kita yang satu itu?" goda Claire kembali.

"Oh ya ampun, Claire. Itu tidak akan pernah terjadi!"

"Responmu terlalu cepat, kurasa alam bawah sadarmu mulai menyukainya..."

"Don't try to analyze me," protesku sambil tertawa sebal. Tapi memang tidak bisa dipungkiri, aku sedang memikirkan pria itu dan menjadi gugup ketika memikirkan besok akan bertemu dengannya...

"Helo Alanis, pikiranmu sudah melayang ke mana-mana, eh?"

Aku terkesiap saat mendengar teriakan sahabatku itu dari seberang saluran.

"Ya, ya, ya, aku mendengarmu, Claire."

"Kau terlalu banyak melamun, atau sebaiknya kita mengecek pendengaranmu," omel Claire.

"Jangan terlalu dramatis."

Claire terkekeh. "Baiklah. By the way, Fransisca mengirim pesan padaku, dia dan Ingrid ingin kita sarapan bersama di Bun's besok."

Bun's adalah restoran yang dimiliki oleh Ingrid bersama kakaknya dan baru-baru ini mereka kembali membuka satu cabang yang lain.

"Okay, sounds great to me," jawabku setuju.

"Jemput aku jam 8 pagi, kalau kau tidak keberatan."

Aku langsung setuju dan berjanji akanmenghubunginya lagi.

Scandalous Love with Professor - Skandal Cinta dengan Sang ProfesorWhere stories live. Discover now