Chapter 18 - Penjemputan Mendadak

9 0 0
                                    

 Esoknya, Ogi benar-benar sudah di depan indekos pukul delapan pagi. Sambil menggerutu, aku menuruni tangga.

"Enggak sekalian aja tadi habis Subuhan?" sindirku.

"Lo aja sering skip Subuhan, gimana bisa ngajak lo pas kelar Subuh," jawab Ogi terkekeh.

Kupukul lengannya dengan keras. "Lagian lo ngapain, sih, ngajak ketemuan pagi-pagi pas libur begini?" tanyaku sambil duduk di jok motor Ogi.

"Pengin ngobrol aja, sih. Btw, Jav, kalau lo butuh tebengan ke kampus atau balik ke kosan, whatsapp gue aja."

"Tumben lo baik. Lo bukan merasa bersalah, kan?"

Ogi mengusap hidungnya. "Ya, pokoknya kalau lo butuh tebengan, chat gue."

Sepuluh menit kemudian kami sudah duduk berhadapan di depan kantin kampus yang tidak terlalu ramai. Sepertinya masih banyak mahasiswa yang kembali ke rumah masing-masing setelah KRS. Kantin kampus tetap buka, walau tidak banyak counter yang menyediakan makanan. Kuputuskan sarapan nasi pecel pagi ini.

"Udah lo salamin ke Wita?" tanya Ogi yang aku yakin itu hanya basa-basi sembari menyodorkan pesananku. Ayam gorengnya menjadi favoritku. Aroma kunyit yang dipadukan dengan rempah-rempah lainnya benar-benar menggugah selera makan.

"Kenapa lo enggak chat sendiri, sih, bilang 'Wit, salam dari gue'."

"Mana ada yang kayak begitu!"

"Ya, makanya. Justru karena belum ada yang begitu, lo bisa jadi yang pertama," aku menyingkirkan daun kemangi dan timuh cacah dari nasi, "Udah, deh, jangan mengalihkan pembicaraan. Ngapain lo ngajak gue sarapan bareng begini?"

"Jav, gue ... masukin berkas buat daftar Menteri Sospol," kata Ogi ragu.

Gerakan menyendok nasiku terhenti, kemudian memandang Ogi sambil menimbang di dalam hati, raut wajah apa yang harus kugunakan sekarang ini. "Oh, ya?" Hanya itu yang keluar dari mulutku.

"Enggak apa-apa, kan? Gue udah denger semuanya tentang rencana lo jadi menteri dari Bang Dito."

Bang Dito sialan! Kenapa harus ngomong ke Ogi, sih?umpatku dalam hati. "Lah, kok nanya ke gue. Itu hak lo lagi, Gi. Lo juga memenuhi semua persyaratan jadi menteri, kan? Ya, udah, gas aja."

"Bukan maksud gue nikung lo dari belakang soal posisi ini."

"Nyantai aja. Enggak ada masalah." Padahal sebenarnya buatku itu masalah besar, karena Ogi sekarang jadi tahu kalau IPK-ku tidak mencapai angka dua koma delapan. Walaupun, aku sendiri memang tidak peduli dengan perkuliahan selama tiga semester ini, tapi tetap saja rasanya malu jika ada orang tahu hasil belajarku tidak sebagus itu.

"Kalau gue jadi menteri, lo bakal gue tarik jadi Dirjen Propaganda. Gimana?" tanya Ogi lagi.

Pagi ini, aku membenci intonasi bicara Ogi yang terkesan arogan dan terlalu banyak menanyakan sesuatu yang retoris. "Itu terserah lo aja, sih."

"Sebenernya, gue juga setuju dan mendukung sepenuhnya kalau lo yang jadi Menteri Sospol, Jav. Tapi, kata Bang Dito, lo kehalang sama persyaratan akademik. Ditambah kabar kalau menteri untuk periode kali ini lebih baik dari anak sospol, gitu. Jadilah Bang Dito dorong gue buat daftar."

Nasi pecel yang ditraktir Ogi pagi ini sudah tidak menggugah seleraku sedikit pun. Kukira, Bang Dito benar-benar mendukungku. Maksudku, mendukungku saja. Ternyata, tidak. Semua orang mendapat dukungannya dan aku jadi merasa tidak istimewa atau dianggap mampu. Ternyata kemampuanku tidak setinggi itu.

Titip SalamWhere stories live. Discover now