Chapter 8 - Nilai Ujian yang Menjadi Aib

5 0 0
                                    

Setelah makan siang rusuh itu, aku celingukan mencari keberadaan Bang Dito di sekretariat BEM. Ruangan penuh, beberapa orang mengadakan rapat dengan duduk melingkar di bagian timur dan selatan sekretariat, jelas mereka beda kementrian. Ternyata sosok yang kucari sedang duduk di pojokon ruangan BPH1 dengan laptop di hadapannya serta headset sambil menggelengkan kepalanya pelan seperti mengikuti irama.

Aku menepuk bahunya pelan karena Bang Dito tidak menyadari kehadiranku di sana.

"Eh, Jav, gue kira lo masih entar sore datengnya." Bang Dito melepas headset.

"Kuliahnya udah kelar, Bang. Ogi enggak ke sini?"

"Katanya, sih, ke sini sekarang," ucap Bang Dito sambil melihat arloji di tangannya. Dia angkatan akhir, mengambil Jurusan Teknik Sipil dan kini menjabat sebagai Menteri Sosial Politik di BEM Universitas. Namun, berdasarkan pengakuannya, dia tidak mungkin lulus semester depan karena kuliahnya masih tersisa tiga puluh sks, apalagi Bang Dito belum sempro sampai akhir semester ini.

"Bang, sewa aula gedung K belum beres perijinannya yang buat kastrat besok."

Bang Dito memandangku sejenak. Lalu mengalihkan pandangan ke seluruh area sekretariat BEM. "Kalau di sini enggak mungkin, ya?"

"Mungkin. Kalau perwakilan HMJ fakultas gue enggak ada yang dateng," jawabku sambil terkekeh. Jurusanku termasuk dalam fakultas teknik, dan memiliki enam jurusan untuk tingkat sarjana dan dua jurusan vokasi untuk tingkat diploma, total ada delapan HMJ di fakultasku.

"Jangan, lah! Justru fakultas lo yang gue harepin biar banyak yang ikut aksi masa besok."

"Bukannya aksi masa kali ini, anggota BEM SI2 juga diundang, Bang? Berarti ada universitas lain, kan?"

"Nah, masalah ini gue mesti rundingan lagi sama Pak Pres. Lo tahu, lah, Jav, gimana usaha birokrat buat jauhin ormek dari BEM? Takutnya malah ada penyusup yang jadi mahasiswa lain. Lebih susah kontrolingnya juga. Makanya gue butuh banyak cowok dari internal kita buat aksi masa besok." Bang Dito menutup laptopnya.

"Kalau bisa, buat aksi masa besok jangan ada mahasiswi yang ikut, deh. Lo juga kalau bisa jangan ikut, deh. Soalnya yang dibahas sensitif," lanjut Bang Dito.

Aku sontak mengerutkan kening. "Enggak bisa, dong, Bang! Gue, kan, Dirjen Kastrat, anak sospol juga. masa iya, dilarang ikut aksi masa?" sungutku.

"Tuh, kan. Gue udah bilang ke Ogi, lo pasti ngamuk-ngamuk kalau kita larang ikutan aksi masa. Kita cuma takut ricuh, Jav. Meminimalisir kemungkinan buruk yang terjadi, gitu."

"Enggak, enggak, pokoknya gue ikut!" ketusku.

"Jav, lo, tuh, terlalu totalitas di sospol. Padahal lo cuma pegang satu sub-bidang doang. Lo nyalon jadi pengganti gue, gih! Bentar lagi, kan, pemilihan presbem, pasti mereka juga lagi cari TSK3, nah, biasanya TSK ini kandidat kuat jadi menteri kalau dia terpilih."

"Emang bisa mahasiswa semester empat jadi menteri, Bang?" Aku mulai tertarik.

"Bisa aja kalau mampu. Gue rasa, sih, lo mampu, Jav."

"Wah, boleh banget, nih, Bang!" Aku bersemangat.

"Mulai konsolidasi aja sama salah satu calon presbem. Keburu disikut sama Ogi, kayaknya Ogi juga berminat gantiin gue."

"Konsolidasi?"

"Pendekatan, sokab gitu, lah!" Bang Dito mengibaskan tangannya sambil tertawa.

Tiba-tiba Ogi datang dan duduk di sebelahku. Rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Tapi kenapa Ogi malah kelihatan cakep kalau begini? Astaga, Ya Tuhan, tolong kembalikan kesadaranku sekarang!

"Bangun tidur lo?" tanya Bang Dito.

"Iya, nih, Bang." Ogi menyisir rambutnya dengan jemari, lalu menguncirnya dengan karet hitam di tangannya, seperti biasa. Kalau dikuncir begini, jadinya lebih mirip preman.

"Lah, katanya kuliah?" sahutku heran. Karena semalam Ogi berkata bahwa dia akan menemuiku dan Bang Dito setelah kuliah siang.

"Ketiduran gue, baru tidur habis Subuh. Eh, malah bablas," keluh Ogi setelah mengusap wajah agar kesadarannya utuh kembali.

Aku cengengesan.

"Nugas?" Pertanyaan Bang Dito ini retoris. Kalau Ogi tidur Subuh sudah jelas dia nugas, memangnya ngapain lagi?

"Iyalah! Gambar design. Lo kira gue ngapain, Bang!" jawab Ogi sengit.

"Yaa ... kali aja lo ngegambar yang lain," ucap Bang Dito sambil senyum-senyum. Ini, nih, yang enggak aku suka. Kalau Bang Dito sama Ogi ngobrol, aku merasa menjadi makhluk lain. Ya, karena aku enggak tahu apa-apa!

"Ngegambar lautan, gitu?" tanyaku bingung.

Bang Dito dan Ogi sontak memandangku bersamaan, lalu tertawa terbahak-bahak. "Tuh, kan. Javitri jadi kepo gara-gara lo, Bang!"

Setelah rapat dengan Bang Dito dan Ogi hingga Maghrib, sesuai keinginan para penghuni kos, kami makan sate kelapa bersama. Jangan bayangkan di restoran mahal, atau rumah makan. Bagi para perempuan cantik ini, aspek terpenting dari makanan adalah rasanya, bukan tempat atau harga.

Beruntungnya, mereka bukan tipe perempuan yang sedikit-sedikit foto. Mau makan foto, makanan sebelum dimakan difoto, setelah makan foto, makanan setelah dimakan difoto, makan makanan juga foto. Tidak seribet itu.

Kami berlima duduk lesehan di trotoar yang telah disulap menjadi tempat makan oleh si penjual. Tidak peduli jika ada pejalan kaki yang sampai harus turun trotoar dan berjalan kaki di bagian bahu jalan raya. Para pembeli duduk beratapkan langit penuh bintang, ceileh! Ini bukan sok puitis, tapi memang di sini tidak disediakan tenda atau semacamnya. Jadi, kalau tiba-tiba hujan, ya, jadinya kami makan sate dengan kuah.

Butuh sembilan puluh menit tanpa waktu tambahan untuk makan. Setelah selesai makan yang dirangkap dengan mengobrol itu, kami beranjak.

"Aya, bayar pakai duit lo dulu, dong." June menepuk lengan Aya. "Gue enggak bawa dompet, nih."

"Lah, gue juga enggak bawa, cuy. Tadi buru-buru jemput Javitri di kampus, sih."

Wita dan Tiar berpandangan. "Kita berdua juga enggak bawa, woi."

Aku memukul dahi. "Mentang-mentang deket, kalian semua enggak bawa dompet? Untung aja, gue masih bawa tas gara-gara dari kampus." Aku masih sibuk mengikat tali sepatu.

"Gue ambil, ya, Jav," ucap June mendekati ransel yang sudah kukenakan.

"Iya, ambil aja. Di dalem resleting paling gede."

Kurasakan June membuka tasku, lalu merogoh isinya.

"Jadi beneran lo yang disuruh drop out, Jav?" tanya June dengan suara yang beradu dengan deru kendaraan bermotor. Kurasakan tiga penghuni indekos lainnya memandangku. Suara June cukup keras saat itu, pasti didengar oleh orang di dekat kami juga.

June sialan!

Saat itu juga aku menyesal, kenapa sok sibuk sejak selesai kelas Prof. Budi tadi siang. Kertas laknat itu harusnya sudah kubuang ke tong sampah organik. Tentu saja harus dirobek menjadi beberapa bagian lebih dulu agar namaku tidak tercantum dan menjadi aib. Namun, aku sendiri justru membuka aib itu di depan teman-teman indekosku. Mau ditaruh mana wajahku setelah ini, hah?

[]

1 Badan Pengurus Harian : presiden BEM, wakil presiden BEM, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara, wakil bendahara

2 BEM SI adalah BEM Seluruh Indonesia yang berbentuk aliansi dan terbagi menjadi beberapa teritorial dari Jakarta hingga Papua

3 Tim Sukses Kampanye

Titip SalamWhere stories live. Discover now