Chapter 3 - Salah Jurusan

11 2 0
                                    

"Jav, ini mawar siapa?" tanya June dengan mata terarah pada sebuket mawar merah di meja begitu membuka pintu kamar. Aku sekamar dengan June, sedangkan Tiar memilih satu kamar dengan Wita, dan Aya mengambil kamar sendiri dengan ukuran lebih kecil.

"Mawarnya Wita dari Ogi. Wita enggak ikut pulang bareng lo?" Aku melepas hoodie karena baru kembali dari warung, menyisakan kaus berlengan spaghetti di tubuh kurusku.

"Wita masih beli makan sama Aya. Lo udah makan belum? Temenin gue makan di warung sebelah yuk, Jav," pinta June sambil menguncir rambut bergelombangnya yang hitam berkilauan.

"Aku baru balik dari warung kali, ke sana sendiri, deh."

"Yah, masa sendirian. Bentar aja, Jav. Dibungkus, kok." June memasang wajah memelas.

Aku menarik bibir datar setelah mengembuskan napas panjang. Padahal sejak tadi aku ingin mandi. Sesulit inikah mau mandi sebentar saja, aku hanya butuh sepuluh menit. Enggak. Hanya kurang dari lima menit untuk membersihkan diri karena aku tidak pernah melakukan body scrub terlebih dahulu seperti yang lainnya.

"Di warung sebelah ada Ryo sama yang lain. Lo dapat salam, tuh, dari Ryo," kataku sambil meraih handuk dan mengalungkannya di leher. Aku berani taruhan, June tidak akan mau ke warung sebelah sekarang.

"Enggak jadi. Nanti aja, lah," ucap June yang kini malah membaringkan tubuhnya di tempat tidur.

Seandainya ini kuis Family 100 dengan pertanyaan 'sebutkan apa saja yang dihindari June!', maka jawabanku 'menghindari Ryo' pasti terletak di posisi paling atas dan tentu saja aku akan membawa pulang uang jutaan rupiah sebagai hadiah pemenang.

"Atau gue telepon Wita aja, ya? Titip beli makan," kata June lagi, meminta pendapatku sebelum aku pergi ke kamar mandi.

"Ide yang brilian. Enggak sia-sia IPK lo cumlaude." Aku menjentikkan jari tanda setuju. Kemudian dengan kecepatan penuh, aku segera melesat menuju kamar mandi sebelum June mengajak bicara lebih panjang.

Air di bak mandi seharusnya penuh, tapi justru hanya berisi satu per empat bak. Airnya berkurang dari yang seharusnya, minimal ada setengah bak tadi sebelum kutinggal makan malam. Kubuka kran, tapi tidak ada tanda air keluar dari sana. Pompa air dimatikan lagi. Pasti Bu Nur yang jiwanya memang superhematos tidak bisa mendengar suara pompa air menyala terlalu lama.

"Juuun, tolong nyalain pompa air, dooong," teriakku dengan kepala yang tersembul dari pintu kamar mandi agar suaraku bisa lebih jelas didengar oleh June yang berada di kamar.

"Mageer," jawab June dengan teriakan juga.

"Tiaaar, pompa air dooong," teriakku lagi. Tapi, kali ini tidak ada sahutan dari kamar Tiar. Entah dia sedang tidur atau pura-pura tidak mendengar.

Ya Tuhan, kenapa tidak ada yang bisa diandalkan, batinku sambil mendengus karena kesal. Aku masuk kembali ke kamar mandi, kebiasaanku saat mandi adalah air di bak mandi harus penuh karena kamar mandi indekos ini tidak memiliki shower seperti di rumahku, sedangkan aku butuh banyak air untuk mandi.

Setelah urusan mandiku yang kisahnya super panjang, tapi hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk mandi selesai—tidak seimbang dengan perjuanganku sejak awal pulang tadi—aku duduk di kursi belajar lalu menyalakan laptop ketika tiba-tiba gawaiku berbunyi dan nama Ogi terpampang jelas di layar.

"Apa?" Satu lagi kebiasaanku selain harus mandi dengan air yang memenuhi bak mandi, yaitu menjawab panggilan telepon tanpa salam atau halo.

"Wita udah terima bunganya, Jav?" tanya Ogi di seberang telepon.

"Orangnya belum pulang. Nanti gue suruh dia ngucapin terima kasih ke lo sendiri," jawabku malas.

"Oke, thanks, ya, Jav. Besok gue traktir makan, deh." Ogi berusaha menghiburku.

"Gue enggak mau tahu, besok makannya harus lebih mahal dari mawar!" Kemudian kuhentikan panggilan sebelum Ogi menjawab lagi.

"Ogi? Lo pinter banget ambil kesempatan makan gratis," celetuk June yang masih mempertahankan posisi berbaringnya.

"Harus, dong!" sahutku bangga. "Anyway, lo udah ngerjain tugas integral vektor?" Aku menoleh ke arah teman sekamarku yang masih berbaring.

"Gue enggak mau kasih contekan, ya! Tapi kalau lo minta ajarin caranya, baru gue mau." June melirikku.

"Ada cara yang sederhana kenapa milih yang ribet, sih? Prof. Budi enggak bakal tahu gue nyontek atau enggak," gerutuku karena June makin lama makin pelit memberiku contekan.

"Tapi lo bakal terusan enggak tahu caranya kalau nyontek melulu. Mau bunuh diri pas ujian?"

Ya, June benar. Profesor Budi adalah Dosen mata kuliah persamaan differensial biasa dan parsial terkenal sebagai dosen ter-killer dengan berbagai aturan ketat dan tugas-tugas yang intensitasnya rapat tiap hari. Satu soal memang memiliki penyelesaian yang sama, tapi tiap mahasiswa akan melakukannya dengan cara penulisan yang berbeda dan Dosen tersebut bisa dengan mudah mengetahui siapa yang mencontek atau tidak. Sekali ketahuan mencontek, nilai ujian langsung D dan harus mengulang tahun depan.

"Kenapa lo enggak mau belajar bareng aja, sih, Jav?"

Aku lagi-lagi mendengus. June akan memulai ceramahnya kalau begini, dia sudah seperti mamaku. Kututup laptop, lalu ikut membaringkan tubuh di tempat tidur. "Gue ... kayaknya salah jurusan." Aku menatap langit-langit kamar dengan hiasan stiker bintang yang akan menyala ketika gelap. Aku dan June yang memasangnya saat baru pertama pindah, karena kami sama-sama penikmat sinar yang berasal dari bintang.

"Lagi? Lo sudah puluhan atau hampir ratusan kali ngomong gitu. Tapi, kenyataannya lo masih nyangkut di Jurusan Teknik Elektro." June beranjak dari tempat tidur, mengambil gelas miliknya dan meneguk isinya hingga tandas. "Lo, tuh, selalu mengeluh capek kuliah, nilai ancur, salah jurusan, tapi lo sendiri enggak ada usaha buat perbaiki padahal sebenernya lo bisa kalau lo niat, Jav."

Aku tidak menjawab ucapan June. Dia selalu mengutarakan pikirannya, mungkin karena sudah satu tahun kami satu kamar, dia merasa sudah mengenal aku dekat. Aku memeluk guling sembari membelakangi June. Menghadap tembok datar yang selamanya akan datar, sama seperti hidupku.

Tiba-tiba suara Aya melengking nyaring diikuti derap langkah menaiki tangga dengan terburu-buru. Si paling berisik dan heboh telah datang. "Gue beli Richeese level lima, nih, cuy!"

Ceklek!

"Mauuu ...." sahut Tiar begitu keluar kamar. Sialan. Dia tadi pura-pura tidak mendengar saat kupanggil, sekarang malah nongol ketika ada makanan. Bukannya dia tadi bilang kalau lagi diet, ya?

June ikut keluar kamar, menyambut Aya dan Wita dengan semringah karena lapar. Mau tidak mau, aku beranjak juga dari tempat tidur. Empat kotak ayam pedas sudah dikeroyok empat gadis di depan kamar. Aku masih kenyang, mungkin makan satu potong saja sudah cukup. Aya menyalakan televisi, suasana indekos yang tadinya sepi sekarang menjadi gaduh karena para penghuni yang bicara tanpa henti. []

Titip SalamWhere stories live. Discover now