Chapter 1 - Aku Javitri

39 2 0
                                    

"Mawar?" Aku menyebutkan benda yang kini berada dalam genggamanku.

"Iya," jawab Ogi tertawa malu sambil mengusap belakang kepalanya yang dihiasi kuncir dengan karet seadanya.

Aku yang masih menggunakan ransel, iseng menghitung jumlah tangkai bunga berwarna merah segar yang dijadikan sebuket dan berdampingan bunga peacock ungu kecil. "Kenapa dua belas?" tanyaku penasaran.

"Desember." Mahasiswa semester lima yang berdiri di depanku sejak tadi menjawab singkat dengan sabar.

Aku hanya melempar senyum simpul, lalu segera menyuruh Ogi pulang karena tidak nyaman jika kami mengobrol lama sambil berdiri berhadap-hadapan di depan indekos. Apalagi pemilik indekos tinggal di lantai satu, memudahkan beliau mengawasi gerak-gerik kami sebagai penghuni yang tinggal di lantai atas.

Dengan sebuket mawar merah ala sinetron remaja yang biasa aku tonton saat jam kuliah kosong, aku kembali naik ke atas menuju kamar. Sepi, semua kamar masih terkunci dengan tirai tertutup berarti empat penghuni kos lain belum ada yang kembali.

Mawar merah yang dibungkus dengan kertas tisu berwarna putih itu kuletakkan di atas meja belajar begitu saja. Selera Ogi benar-benar mengejutkan. Aku kira, laki-laki dengan rambut gondrong yang panjangnya hampir menyaingi rambutku adalah laki-laki jantan yang tidak akan pernah mau menyentuh bunga, tapi Ogi justru membeli itu untuk orang yang menurutnya istimewa.

Aku segera mengambil handuk dan melesat ke kamar mandi, tubuhku lengket setelah seharian menyibukkan diri di kantor BEM untuk mengurus program kerja dan laporan pertanggung jawaban separuh periode.

Akan tetapi, setelah aku mengambil gayung ternyata air di dalam bak mandi yang tersisa hanya setinggi lima sentimeter. Gayung berbentuk hati itu sampai menyentuh keramik bak yang paling dasar. Aku memutar kran, tapi tidak keluar air sedikit pun, bahkan menetes pun tidak. Artinya, sakelar pompa air di dekat tangga depan belum dinyalakan.

Aku mendengus sebal, mood untuk mandi hilang sudah. Kupakai baju kembali seakan telah selesai membersihkan diri. Sudah puluhan kali aku mengingatkan untuk selalu mengisi air di bak mandi saat penghuni indekos lain selesai mandi. Namun, sepertinya aktivitas mereka terlalu padat hingga tidak menghiraukan aturan sederhana yang kubuat itu lagi.

Sambil menunggu air di bak mandi penuh, aku memilih memainkan snake game di gawai dengan khidmat seolah sedang mengheningkan cipta di Hari Pahlawan, sebelum akhirnya sebuah panggilan masuk membuatku terpaksa menghentikan ular yang sedang bersemangat melahap titik-titik makanan sembari memanjangkan badan. Aku menggeser simbol telepon berwarna hijau.

"Apa?" tanyaku ketus tanpa mengucapkan kata halo.

"Ya ampun, galak amat sih," ucap suara laki-laki di seberang yang sudah kukenal.

"Cepetan, deh, kalau ngomong, ularnya keburu mati, nih!" decakku kesal.

"Ular? Ular apa, sih, Jav? Bukannya lo udah pulang ke kos?"

"Ya ular gue, masa ular lo!"

"Heh, cewek kok seenaknya ngomongin ular gue!"

"CEPETAN! ADA APA!" aku menaikkan intonasi bicara karena geregetan.

"Turun, gue di depan kos lo, nih," suruh dia, lalu panggilan dihentikan sepihak.

Aku melongokkan kepala dari jendela yang menghadap langsung ke jalan raya, seorang laki-laki dengan kemeja flanel dan rambut pendek cepak disisir klimis melambaikan tangannya dari bawah mengisyaratkan agar aku segera turun.

"Ada apa, sih?" gerutuku begitu menghampiri laki-laki yang duduk di atas jok motor bebek entah sejak kapan.

Dia menyerahkan satu kantung plastik dan satu paper bag. Alisku menyatu. "Burger?" tanyaku, walaupun sebenarnya aku sudah yakin ada lima roti bundar dibungkus food paper putih di dalam paper bag coklat, apalagi kalau bukan burger, sedangkan kantung lainnya berisi satu float ice.

Dia mengangguk membenarkan. "Lo sendirian di kos?" tanyanya.

Kini, aku yang menganggukkan kepala. "Udah, kan?" Aku membalikkan badan berniat kembali ke atas.

"Eh, kata lo ada ular, Jav? Di mana? Di kamar lo? Perlu gue bantu usir?" cecarnya sambil mencengkeram pergelangan tanganku untuk mencegahku pergi.

"Gue, kan, udah bilang itu ular lo, Haris!" sentakku hingga membuat beberapa pengendara yang tidak sengaja lewat menoleh ke arah kami.

"Javitri?" Haris menundukkan pandangan lalu memandangku bingung. Lima detik kemudian aku melenggang pergi dengan tidak acuh setelah menerima pemberian tulus darinya.

Aku sudah kembali ke kamar, meletakkan titipan Haris bersama mawar yang baru sepuluh menit tergeletak di tempat yang sama. Kuambil satu burger untuk mengganjal perut yang lapar lalu mengintip bak mandi, memastikan apakah aku sudah bisa mandi sekarang atau belum. Ternyata baru terisi setengah bak, aliran air kran tidak terlalu kencang malam ini. Aku segera mengunyah burger dengan cepat agar dapat segera menuntaskan niat yang sejak tadi terhambat.

Ketika aku baru akan masuk ke kamar, tiba-tiba sebuah teriakan yang sangat kukenal terdengar diikuti langkah kaki terburu-buru menaiki tangga setelah memarkir motor. "Jaaav, lo di lagi di kamar mandi?" teriaknya sebelum mencapai lantai dua. "Eh, lo di sini ternyata," ucap gadis bermata bulat yang berdiri tiga meter dariku sambil melempar tasnya ke sembarang tempat tanpa membuka kamarnya terlebih dahulu.

"Tiaar, lo mau ngapaiiin," teriakku saat melihatnya berlari ke arah kamar mandi.

"Perut gue muleees," jawab Tiar yang sudah di dalam.

Aku bersungut kesal sambil meremas food paper lalu membuangnya ke tempat sampah dengan kasar. Keinginanku untuk mandi benar-benar sirna sekarang, lebih baik aku melakukan hal yang lain, beli makan malam misalnya. Karena burger tadi tidak sebesar dan sekenyang yang aku kira.

"Tiar, gue mau ke warung sebelah, titip makan enggak?" tanyaku sambil mengetuk pintu kamar mandi.

"Enggak, gue diet. Eh, tapi lo masih simpen camilan enggak, Jav?" tanya Tiar di tengah-tengah menuntaskan hajatnya.

"Ada burger, tuh, dari Haris. Masing-masing satu. Float Ice-nya punya lo," jawabku dari balik pintu.

"Dia kirim makanan lagi?"

"Lo yang ngode dia, kan?" selidikku.

"Enggak ada ceritanya gue kode-kodean sama Haris. Mending kasih kode ke yang lain," ucap Tiar setelah menutup kran air, mungkin agar suaraku terdengar lebih jelas di telinganya. "Udah sana, ganggu orang konsentrasi aja," usirnya.

"Eh, itu kran air jangan dimatikan! Gue belum mandi dari tadi, bak juga baru keisi, lo dateng-dateng main serobot aja."

"Iya-iya, cerewet," sahut Tiar lalu kembali terdengar suara aliran air.

Aku mengomel, Tiar selalu menganggapnya sepele. Padahal, menunggu bak mandi dipenuhi air itu membuang waktu dan aku paling benci dengan kata menunggu.

Untuk membuang mood jelekku yang disertai perut keroncongan, kuputuskan untuk pergi ke warung yang letaknya tepat di samping indekos. Kuintip warung dari balkon atas yang ternyata masih sepi itu karena ketika mencapai jam makan malam, warung sebelah pasti dibanjiri oleh pembeli. []

Titip SalamWhere stories live. Discover now