Chapter 5 - Titip Salam

8 1 0
                                    

"Kalau Wita aja lagi kelas, bukannya lo juga harusnya ada kelas?" tanya Ogi sambil menyeruput es tehnya setelah menghabiskan seporsi soto Lamongan.

Aku menggigit kebab dagingku sedikit sebelum menjawab pertanyaan Ogi. Karena sedang malas makan nasi, aku memilih ini sebagai pengganjal lapar. "Gue lagi 'M' aja."

Ogi mengangkat alisnya yang panjang dan agak menjulang, kalau dilihat-lihat bentuk alis Ogi menyerupai bentuk alis Tiar. "Apa hubungannya, Markonah, antara lo lagi dapet sama kuliah!" serunya heran.

"Gue 'M' bukan dapet, Gi. Tapi, males." Aku nyengir. Tadi aku memang sempat chat Wita karena Ogi terus memaksa, dia tidak percaya kalau aku sebenarnya ada kelas pagi ini. Tentu saja Wita menolak, bahkan menegurku karena bolos padahal kami berangkat berlima tadi pagi.

"Dua minggu lagi UAS, lho, Jav."

"Iya, gue tahu. Udah, deh, jangan mulai ceramah kayak anak kosan. Mending bahas teknis aksi masa besok gimana, nih, jadinya?"

"Gue sambil sebat, ya. Lo enggak terganggu, kan?" tanya Ogi sambil mengeluarkan kotak rokok Marlboro merah dari saku celana.

"Selow aja, sih." Aku menggigit kebabku lagi. Hidung dan mulut Ogi sudah seperti cerobong berasap. "Rencana gue, weekend ini kita kastrat1. Masih ada cukup waktu, kan, buat sebar memo ke HMJ?"

Ogi mengembuskan asap rokok ke arah lain terlebih dahulu sebelum menjawab. "Boleh. Kalau gitu segera bikin memo dan poin yang mau disampaikan di kajian. Sekalian lo list juga beberapa nama yang kira-kira cocok jadi narsum kajian besok. Jadi, nanti malam atau besok pas ketemu Bang Dito, kita udah punya grand design-nya mulai kastrat sampai aksi masa."

"Menurut lo, ormek perlu diundang enggak, sih, Gi? Gue takut mereka malah provokasi atau bikin black campaign, deh."

Ogi mengisap rokoknya kuat. Dia tampak berpikir sejenak. Aku tahu betul bahwa kampus kami tidak mengijinkan organisasi mahasiswa ekstra kampus menjadi organisasi kemahasiswaan resmi yang dinaungi birokrat. Dari cerita Bang Dito, ormek tidak hanya menerima anggota dari kalangan mahasiswa, tapi juga non-mahasiswa. Yang dikhawatirkan adalah, adanya beberapa oknum yang memanfaatkan ormek untuk kepentingan politik dan memecah-belah mahasiswa. Karena itu pula, Bang Dito selalu mewanti-wanti kami agar tidak sembarangan bicara dengan orang tidak dikenal walaupun di area kampus. Takutnya, kami kena brainwashing.

"Gimana, Gi?" Aku mengulangi pertanyaan karena Ogi terlalu lama berpikir.

"Gue enggak bisa mutusin ini sendiri, Jav. Kudu ngobrol dulu sama Bang Dito. Ormek, tuh, butuh enggak butuh, sih. Tergantung komit mereka juga. Enggak lucu, dong, aksi masa yang kita bawa damai berakhir ricuh gara-gara ada penyusup."

Ogi benar. "Oke, kalau gitu, gue list HMJ dulu, ya." Kebabku beralih ke tangan kiri, sedangkan tangan kananku sibuk mengetik di ponsel. "Selain evaluasi kinerja tiga tahun pemerintah kota, ada rencana bawa isu apa lagi, Gi?"

Asap rokok mengepul lagi di samping Ogi. Dia selalu membuang asapnya ke arah yang berlawanan denganku duduk. Biasanya, dia akan mencoba sekali untuk mencari arah angin. Ketika sudah memastikan bahwa asap rokoknya tidak mengenaiku langsung, dia akan membuangnya ke arah itu terus. "Kayaknya, sih, sekalian bawa isu dampak dari revitalisasi pesisir utara."

Aku menganggukkan kepala, lalu mengetik lagi. Kantin mulai ramai, kulihat arlojiku yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Gerombolan mahasiswi baru saja masuk, ada delapan orang tengah berjalan menuju counter yang berbeda. Empat orang yang sangat kukenal berjalan mendekati mejaku.

"Gi, Wita, tuh!"

Sontak Ogi menoleh dan mengikuti arah pandanganku. "Gue cabut, lah." Ogi membersihkan barang-barangnya.

"Lah? Tadi katanya mau ngajak makan bareng?" Aku menaikkan alis.

"Kalau cuma lo sama Wita masih oke, Jav. Tapi kalau ada dua temen kos lo yang berisik itu, mending gue melipir, deh."

Aku tergelak, aku sepertinya tahu yang dimaksud Ogi. Pasti Tiar dan Aya yang suaranya bisa mencapai seratus desibel.

"Jav!" panggil Aya sambil berlari kecil ke mejaku.

Aku melambaikan tangan.

"Eh, sama Ogi? Halo, apa kabar, cuy? Mawar dari lo baunya semerbak, btw. Boleh banget lho kalau mau bawain buat Wita lagi. Iya, kan, Jav?"

Aku terkikik geli melihat Ogi yang nyengir kebingungan. Aya kalau bicara memang suka dijadikan satu, tidak peduli itu nyambung atau tidak.

"E-eh, iya. Gue cabut duluan, ya." Ogi mengusap tengkuknya. Sepertinya dia merinding setelah disapa Aya.

Aku tidak kuat menahan tawa. Apalagi ketika semuanya sudah mendekat ke meja. June, Aya dan Tiar sibuk 'ciye-ciye', sedangkan Wita dan Ogi hanya saling melempar senyum kikuk. Sumpah, Ogi kenapa bisa berubah seratus delapan puluh derajat begini, sih? Baru beberapa menit lalu kami membahas kastrat untuk aksi masa, sekarang dia malah seperti laki-laki naif.

Kabar baik dari aku membolos kelas mata kuliah persamaan differensial biasa dan parsial adalah tugas tidak jadi dikumpulkan saat itu, tapi ketika kuis besok. Besok. Iya, besok pagi mendadak ada kuis dari mata kuliah yang kubenci ini. Katanya, sebagai final exam warm-up. Yang benar saja!

Malamnya, sudah bisa dipastikan semua tiba-tiba menjadi rajin. Teman-teman seangkatanku akan membentuk kelompok sesuai circle pertemanan mereka dan belajar bersama. Empat gadis rempong, dan aku memutuskan pulang lebih cepat sebelum gelap. Sebenarnya, aku belum ingin pulang karena ingin membahas memo HMJ dengan Bang Dito. Namun, mereka mengomeliku.

Ketika June tengah serius menerangkan deret fourier, Bu Nur—pemilik indekos—tiba-tiba saja naik ke lantai dua. "Neng, maaf, nih, Ibu mau minta tolong."

Kami serempak menoleh ke arah Bu Nur yang berdiri di dekat tangga.

"Ada apa, Bu?" Wita beranjak dari duduk dan mendekat.

"Ibu titip Salam sebentar, ya. Ada telepon dari sekolahan katanya penting untuk persiapan UN minggu depan. Ibu kudu ke sekolahan, tapi Salam sendirian di rumah."

"Mm ...." Wita menoleh ke arah kami, meminta persetujuan. Semuanya bergeming. Raut wajah Bu Nur sudah seperti orang memohon pertolongan.

June angkat bicara. "Maaf, Bu Nur, kita besok juga a—"

"Sama saya aja, Bu. Salam di mana?" selaku, kemudian berdiri menjejeri Wita.

"Alhamdulillah, sebentar aja, kok, Neng. Terima kasih, ya." Bu Nur meraih tanganku. Aku hanya tersenyum tipis.

"Ssst! Jav, lo udah gila? Kuis lo besok gimana?" bisik Wita, diikuti tiga pasang mata yang melotot ke arahku.

"Kalian lanjutin aja belajarnya. Gue gampanglah!" Aku melambaikan tangan sambil menuruni anak tangga.

Akan tetapi, setelah satu setengah jam bermain dengan Salam di rumahnya, Bu Nur tidak kunjung pulang. Salam mulai bosan dan merengek. Anak balita ini mulai menangis mencari ibunya. Karena kebingungan mengurus balita, akhirnya tercetuslah kata es krim dari mulutku dan Salam melonjak kegirangan. Untungnya, kesukaan Salam sama denganku. []

1 Kajian Strategis

Titip SalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang