Chapter 13 - Keluarga Patriarki

6 1 0
                                    

Aku dan sekitar dua puluh mahasiswa lain berada di kantor polisi. Di antaranya ada tiga mahasiswi yang ditangkap termasuk aku. Kami menjalani segala macam tes, termasuk tes urine dan tes darah. Mungkin, untuk memastikan bahwa kami bukan pengguna narkoba. Orang tua kami ditelepon dan diminta hadir di kantor polres. Pikiranku sudah melayang ke mana-mana, berharap Papa dan Mama sedang tidak di rumah. Semoga mereka tiba-tiba melakukan perjalanan ke luar negeri seminggu ini.

Kami bergantian masuk ke ruang interogas untuk diwawancarai dan semua berlangsung hingga malam, bahkan beberapa kali kami disuruh menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Perwakilan birokrasi kampusku sudah hadir di kantor polisi, yang berasal dari Universitas S dikumpulkan, berkali-kali diberi nasihat supaya tidak sampai terperosok dalam organisasi yang merugikan diri sendiri.

"Ini bakal ditulis di SKCK kita, enggak, sih?" bisikku pada Ogi ketika kami menunggu dijemput orang tua masing-masing.

"Kata Pak Yandi enggak. Toh, kita sudah ditanya dan dipastikan identitasnya berkali-kali. Lo juga enggak ganti-ganti pernyataan, kan, tadi?" Ogi yang wajahnya masih kotor dan lusuh memandangku. Rambutnya makin terlihat kusut dan mengembang.

Kami berdua belum makan sejak pagi, sekadar merapikan rambut juga tidak sempat. Semoga saja tidak disuruh menginap di kantor polisi, kalau iya, kami akan makin mirip gelandangan besok pagi.

"Jav, rahang lo kayaknya robek, deh." Ogi mengulurkan saputangan yang diambilnya dari dalam saku sambil menunjuk rahangku yang masih terasa perih.

Aku menatap saputangannya ragu. "Lo gimana?" Pertanyaan itu meluncur karena melihat wajah Ogi yang jauh lebih parah dibanding wajahku sekarang. Sepertinya, dia yang lebih membutuhkan saputangan itu untuk membersihkan wajahnya. Kami masih berada di ruangan tertutup dan belum boleh ke kamar mandi tanpa didampingi petugas, sudah seperti tawanan. "Muka lo lebih banyak bekas darah, Gi." Telunjukku mengarah ke beberapa luka.

"Nih, ambil dulu," suruh Ogi sedikit memaksa. Kemudian melepas jas almamater dan kemeja merah bata yang digunakannya. Kini yang tersisa hanya kaos hitam melekat di tubuhnya. "Gue bisa pakai ini," ucapnya diikuti tawa pelan sambil mengusap wajahnya dengan kemeja.

Kulakukan hal yang sama, kuusap wajah dengan saputangan Ogi, dalam sekejap kainnya sudah berubah warna, kotor sekali. Aku melepas gelang rajut hitam yang sudah kupakai sejak lama. "Pakai ini, Gi, buat kuncir rambut lo. Biar enggak kayak reog, tuh."

"Thank you."

"Besok balikin, soalnya itu dari Kakak gue."

"Sip. Paling enggak, gue enggak terlalu mengkhawatirkan di depan ortu gue nanti," ucap Ogi sembari terkekeh.

Jika hari ini tidak ada Ogi, aku bisa panik setengah mati karena melaluinya sendirian. Ogi terus berada di sampingku sejak ditangkap tadi siang. Aku dicurigai provokator, tapi beruntung itu tidak terbukti, sedangkan Ogi ditangkap karena melakukan kekerasan terhadap aparat.

"Javitri Inneke, orang tua kamu di depan," panggil salah seorang polisi bertubuh tambun.

"I-iya, Pak." Aku beranjak dari bangku. "Gi, gue duluan, ya."

Ogi tersenyum sambil menepuk lenganku pelan. "Everything will be okay, Jav. Kalau lo butuh bikin alasan ke bokap sama nyokap lo, gue bisa bantu."

Aku mengangguk. "Thanks." Detak jantungku berdetak cepat, kali ini lebih membuatku gugup dibanding saat berdiri di podium tadi. Sebenarnya aku takut dengan apa yang terjadi nanti setelah aku bertemu orang tuaku.

Titip SalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang