Chapter 4 - Si Cantik Nomor Satu Sampai Empat

8 0 0
                                    

"Ada mawar, tuh, dari Ogi," ucap June mewakiliku, sambil mengedikkan dagu ke arah kamar kami.

"Gue enggak minta mawar, lho, ya," jawab Wita kalem. Entah memang kalem, entah dibuat-buat, karena gestur Wita seperti menolak, tapi dibalut dengan malu-malu kucing. Aku sudah hapal.

"Ya, udah kali tinggal diterima aja, cuy." Aya menyahut di tengah-tengah makannya. Wajahnya yang putih bersih tanpa jerawat membuat bibir Aya yang masih menyisakan lipstick matte itu makin tampak merah akibat kepedesan.

"Eh, ya, masih ada burger, lho, dari Haris." Aku berdiri mengambil paperbag di atas meja belajar.

"Yar, lo minta Haris kirim makanan lagi?" selidik Wita ke teman sekamarnya.

Tiar masih menenangkan mulutnya sebelum bicara. "Hue hak minta hapa-hapa1." Tangan kirinya melambai. "Haah. Pedeees," teriaknya kemudian sambil berlari menuju kulkas.

"Gue udahan, takut jerawat muncul kalau kebanyakan makan pedes." June mengikuti Tiar.

Aku yang tadinya mengira cukup makan satu potong, ternyata sudah makan tiga potong sekarang ini.

"Gue juga udah, gue, kan, lagi diet." Tiar sejak tadi bilang begitu, tapi sudah bermacam-macam yang masuk perutnya termasuk burger dan float ice.

"Kenyang juga, cuy."

"Iya, gue juga kenyang." Wita mengiyakan ucapan Aya barusan.

Ya Tuhan. Empat kotak ayam masih tersisa dua kotak, dan para gadis ini sudah mengeluh. Aku mendelik. "Lah, ngapain beli empat porsi, woi!"

"Habisin aja, Jav."

"Gue udah makan, Wit, yang bener aja."

"Perut lo, kan, muat banyak, Jav. Sebenernya gue masih laper, tapi takut besok pagi jerawatan."

June—gadis tercantik nomor satu di jurusan—masih membahas jerawat di depanku yang memiliki beberapa jerawat kecil di sekitar hidung dan pipi. Ya, memang, June ini wajahnya bersih banget. Ralat. Bukan hanya June, tapi juga tiga lainnya. Aku sendiri heran, kenapa mereka berempat wajahnya bisa mulus banget seperti jalan tol yang baru dicor. Mungkin kalau ada nyamuk hinggap di wajah mereka, nyamuknya bisa terpeleset di sana.

Empat gadis itu menggilai perawatan wajah. Dua minggu sekali mereka rutin pergi facial atau peeling, lalu sebelum tidur dan sebelum berangkat kuliah mereka tidak pernah meninggalkan pemakaian skincare. Selelah atau semalas apa pun, mereka pasti menggunakannya, sedangkan aku bisa mandi dua kali sehari di atas lima menit saja sudah bagus.

"Gue bantuin, deh, cuy. Sayang, makanannya," ucap Aya yang bibirnya sejak tadi merah banget.

"Enggak kepedesan?" tanyaku.

"Enggak apa-apa, sekali-kali," jawabnya santai. Aya, pemilik dua lesung pipi yang menjadi mahasiswi tercantik nomor dua di jurusan. Wajahnya mungil, hidungnya kecil, bibirnya seperti orang mengecup, hanya kelopak matanya yang lebar sehingga bola mata Aya juga terlihat bulat jelas. Dia dijuluki baby face sejak mahasiswa baru.

Aku mengacungkan jempol sambil melanjutkan makan.

"Tugas integral vector ada yang udah kelar?" tanya Wita yang kini beralih dari memegang paha ayam, menjadi memegang notebook. Wita, si kalem dan keibuan serta dinobatkan menjadi tercantik nomor empat di jurusan—aku juga tidak tahu dari mana urutan ini berasal, sepertinya dari para mahasiswa laki-laki di jurusanku yang terlalu menganggur di kampus—sebenarnya Wita juga tidak kalah cantik, hanya karena kulitnya lebih gelap di antara kami, maka dia berada di posisi nomor empat. Padahal Wita manis ketika tertawa.

Titip SalamWhere stories live. Discover now