Chapter 12 - Aksi Masa

6 1 0
                                    

Aku, Ogi dan Bang Dito ternganga karena ternyata peserta aksi tampak lebih banyak dari yang seharusnya. Mungkin sekitar tiga ratus orang yang berkumpul di meeting point yang telah disepakati. Bahkan, sepertinya lebih dari itu karena mahasiswa dari universitas lain terus berdatangan.

"Pak Pres, ini beneran banyak peserta yang di luar list pendaftaran!" seru Bang Dito ketika kami harus rapat dadakan di pinggir jalan bersama seluruh Presiden BEM yang tergabung dalam BEM SI sebagai perwakilan universitas masing-masing. Aku dan Ogi yang sebagai panitia pelaksana juga ikut berkumpul dengan mereka.

"Oke, gue juga sebenernya kaget, guys. Kalau begini, mau enggak mau tiap BEM universitas harus ambil kendali atas mahasiswa masing-masing. Gue, Dito, Ogi, Javitri, dan temen-temen sospol lain, enggak mungkin mengawasi mereka semua," ucap Mas Pandu yang lebih sering dipanggil Pak ain Pres karena jabatannya sebagai Presiden BEM di kampusku.

Enam Presiden BEM yang menggunakan jas almamater universitas masing-masing mengangguk paham.

"Sekalian, gue usul. Yang naik podium kita tentuin dari sekarang, biar enggak diserobot oknum," kata Mas Imron, Presiden BEM Universitas U yang menggunakan jas almamater berwarna kuning.

Karena sudah berkali-kali komunikasi dengan enam Presiden BEM ini, aku jadi mengenal mereka semua. Berkat Bang Dito, karena aku selalu menempel dengannya ke mana-mana, kalau tidak, aku juga tidak akan mengenal mereka.

"Gue setuju. Tiga Presbem, Bang Dito, sama satu anak sospol kayaknya cukup. Lainnya nanti ikut interaksi penyampaian aspirasi dengan perwakilan pemerintah kalau mereka buka gerbang buat kita," imbuh Mas Wahyu sebagai Presiden BEM Universitas T.

"Oke, dari kampus gue, biar Dito sama ... Ogi mau nyoba orasi?" tawar Mas Pandu. Aku diam saja, kukira Mas Pandu akan langsung menanyaiku. Ternyata tetaplah laki-laki lebih didahulukan untuk masalah politik seperti ini.

"Enggak, deh, Pak. Lebih baik gue jaga peserta aksi takut tiba-tiba enggak kondusif." Ogi melambaikan tangan.

"Javitri aja," tunjuk Bang Dito cepat sambil menatapku seolah mengisyaratkan sesuatu.

"Serius?" ucap Mas Imron dan Mas Wahyu serempak, diikuti pandangan dari sembilan pasang mata ke arahku.

"Janganlah, masa cewek. Cowok aja, selain O—"

"Gue mau!" potongku cepat. Sebelum Mas Pandu yang penganut patriarki sejati ini menawari orang lain. Aku justru menunggu kesempatan seperti ini. Kalau bukan Bang Dito yang membantu membuka jalan untukku, siapa lagi?

"Lo yakin, Jav? Udah punya materi?" Mas Pandu mengernyit dengan tatapan kurang percaya.

"Ada, Pak. Lagian, gue udah paham betul tujuh tuntutan yang kita bawa hari ini." Aku mengucapkannya dengan mantap.

"Oke, gue setuju kalau Javitri yang orasi! Sekarang lebih baik kita kembali ke posisi masing-masing." Mas Imron menepuk tangannya sekali, menandakan bahwa dia sudah menyetujui semua keputusan di rapat dadakan.

Beruntung, sudah lebih dari setengah hari aksi masa dilakukan dan situasi masih aman terkendali. Aparat kepolisian tetap berjaga dan membuat Tiga Presiden BEM termasuk Mas Imron, sudah naik ke podium untuk orasi. Setelah ini giliranku lalu Bang Dito sebagai penutup. Suasana demonstrasi makin terasa hiruk, lagu Totalitas Perujuangan, Buruh Tani, dan Darah Juang terus dinyanyikan bergantian.

Aku berdiri di ujung, dekat undakan di pinggir pagar kantor wali kota yang dianggap sebagai podium siang ini. Dari sini, aku bisa melihat Ogi yang berada di barisan depan, dan anggota kementerian sospol lain yang berjaga di tengah, belakang dan kanan-kiri barisan. Mas Pandu dan dua Presiden BEM lain sudah masuk ke kantor wali kota untuk menyampaikan tuntutan aksi. Cuaca makin terik, tidak ada tempat untuk berteduh, aku juga lupa mengenakan topi. Rambut sebahuku aku kuncir dengan karet gelang agar tidak makin gerah. Beberapa kali aku mengusap dahi yang dipenuhi keringat. Suaraku hampir habis padahal aku belum orasi.

Titip SalamWhere stories live. Discover now