17 - Morning Clouds: Menggenggam Keberanian Dalam Keheningan

4 0 0
                                    

Satu minggu telah berlalu sejak peristiwa terakhir. Di dalam istana, Kadita memutuskan untuk mengunjungi kamar putranya. Wajah yang awalnya berseri-seri, berjalan dengan langkah cepat menuju kamar putranya, Nakula. Namun, ketika pelayan yang pengantar makanan keluar dari kamar sang pangeran. Kadita menjadi dilanda kepanikan ketika tidak menemukan siapapun didalam kamar tersebut.

Kadita segera menghampiri pelayan tersebut dengan suara yang penuh kekhawatiran. "Di mana pangeran ku? Aku tidak melihatnya di dalam," ucap Kadita dengan nada yang cepat dan cemas.

Pelayan, dengan sikap yang hormat, segera memberikan penjelasan. "Mohon maaf ratu. Ketika saya mengantarkan makanan, saya tidak melihat pangeran di sana. Saya tidak mengetahui kemana perginya pangeran," ucap pelayan dengan suara yang sopan. "Izinkan saya untuk ikut mencari."

Kadita merasa hatinya semakin cemas mendengar penjelasan pelayan. Dalam keheningan ia mengambil napas dalam dalam untuk menenangkan diri.

"Terima kasih atas informasinya. Segera cari tahu di mana putraku berada," ucap Kadita dengan suara yang tetap tenang meskipun kekhawatiran masih terpancar dari matanya.

Pelayan dengan cepat memberikan hormat kepada Kadita, "Baik ratu, permisi."

"Aku akan menemui suamiku terlebih dahulu." Gumam kadita.

Kadita berniat untuk menemui suaminya untuk memberitahu jika putranya tidak ada. Dengan langkahnya yang tampak tergesa-gesa itu terpaksa harus terhenti di tengah perjalanan tepat setelah salah satu prajurit yang bertugas untuk berkeliling memastikan keamanan istana menghampiri sang ratu.

Wajah Kadita tampak mencerminkan kecemasan. "Mohon ampun, Ratu," ucap salah satu prajurit dengan setelah membungkuk sesaat, dua prajurit lainnya yang baru tiba langsung memberikan hormat.

Kadita menatap prajurit dengan ekspresi khawatir dan kesal karena mereka menghambat perjalanannya. "Ada apa?" tanya Kadita dengan suara yang lembut namun terdengar cemas.

"Pangeran berada di taman, Ratu. Apakah ia sudah diizinkan? Sebelumnya, taman tersebut dilarang untuk dikunjungi, tetapi tuan pangeran memaksa, jadi kami ingin melaporkan ini kepada tuan raja sebelumnya," jelas prajurit dengan hati-hati.

Kadita merasa lega mendengar kabar itu, ia mengurungkan niatnya untuk menemui Erlangga. "Benarkah dia berada di taman? Kalau begitu, biarkan saja. Taman itu boleh kembali dibuka untuk siapa pun yang ingin lewat, dan jangan pernah melarangnya lagi," tegas Kadita dengan suara yang tetap lembut namun penuh keputusan.

Para prajurit saling melemparkan pandangan sesaat, agak bingung dengan keputusan Kadita. "Mohon ampun, Ratu, tapi... bukankah tuan Raja yang memberikan larangan tersebut?" tanya salah satu prajurit dengan hati-hati.

Kadita tidak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak, mempertimbangkan kata kata yang akan ia ucapkan.

"Kalian akan mengetahuinya nanti, setelah Raja kalian mengumumkan sesuatu. Sekarang, sebaiknya kalian kembali bertugas dan jangan mengganggunya, dan akan ku beritahu satu hal, sekarang namanya Nakula, Pangeran Nakula. Biarkan dia melakukan apa pun yang dia inginkan," ucap Kadita dengan suara yang penuh dengan kebijaksanaan.

Para prajurit membungkuk dengan satu tangan menyentuh dada dan tangan lainnya memegang tombak yang berdiri kokoh di samping mereka.

"Hormat kami, Ratu. Kami meminta maaf atas kelancangan kami, dan kami akan kembali bertugas," ucap salah satu prajurit dengan hormat mewakili rekannya.

Setelah Kadita mengangguk, mereka segera mengangkat tombak mereka kembali dan memberi jalan kepada Kadita yang berjalan maju melewati mereka.

Dalam langkah langkahnya yang mantap, Kadita melanjutkan perjalanannya menuju taman. Suasana pagi yang penuh dengan suara burung bernyanyi dan semilir angin yang menari mengiringi langkahnya.

Bayangan Kegelapan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang