13 - Raka

2 1 0
                                    

Kecupan hangat terasa lama di kening Raka. Tenggorokannya terasa panas menahan kesedihan, namun setiap hela nafas yang diambilnya terasa sangat menyesakkan dan menyakitkan. Hanya air mata yang bisa ia keluarkan sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam.

"Katakanlah," ucap Liora dengan penuh antusiasme.

Kadita mengangguk, "Katakan saja." Timpal Erlangga.

Raka melihat wajah mereka bergantian dengan harapan dan kesedihan yang terpancar. "Jika kalian tidak keberatan, aku ingin menyerahkan keputusan selanjutnya terhadap kalian, karena ini adalah hak kalian semua."

"Apa pun itu, aku akan melakukan apapun untuk memenuhi permintaanmu semampuku. Itu adalah suatu kehormatan bagiku," ucap Erlangga dengan tulus.

"Terima kasih, ayah," Raka menghela nafas sejenak. "Aku... pernah mendengar tentang pemilik taman yang pernah menarikku ke sana. Maafkan aku karena... telah lancang, aku penasaran dan mencari tahu. Aku bertanya pada orang-orang istana tentang pangeran kalian. Terakhir, aku bertanya kepada ayah dan ibu."

Mereka mengangguk, memberikan dukungan dan pengertian. "Katakan saja maksud di balik semua ucapanmu itu. Kami siap mendengarnya," ucap Erlangga dengan ketegasan.

"Dia sepertinya pangeran yang baik. Dibalik sifat nakalnya, aku merasakan... ada hal hal yang ia tutupi di baliknya. Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasakan dia... seperti sengaja dijatuhkan berkali kali dengan memanfaatkan sikapnya. Karena itu... izinkanlah pangeran kalian berada di sini dan mengambil alih tubuhku," ungkap Raka dengan penuh keberanian.





























DEG. Mereka tercengang, terharu, dan tidak percaya akan hal ini. Erlangga tidak pernah berniat memanfaatkan Raka sebelumnya, tetapi ada kebenaran dalam kata-kata Raka. Raka adalah milik mereka, tepat setelah Erlangga memenangkan peperangan tersebut. Ia menyayangi Raka seperti menyayangi putra mereka sendiri.

"Tapi... putraku, mengapa kamu ingin melakukannya demi orang lain? Apakah kamu tidak..." ucap Erlangga dengan keraguan.

"Kalau kalian keberatan atas permintaanku, tidak masalah. Karena sudah kukatakan sebelumnya bahwa selanjutnya adalah hak kalian, keputusan yang kalian ambil yang menentukan. Permintaanku atau penolakan untukku." potong Raka dengan keberanian yang menggetarkan hati. Pertanyaan sebelumya terkesan sebuah pemaksaan di dalamnya membuat mereka merasa bimbang, disisi lain mereka juga memikirkan dampak lainnya yang akan terjadi jika ritual tersebut dilakukan.

*****

Disini, disebuah tempat asing, Raka berjalan keluar dari sebuah pintu yang dipenuhi cahaya putih yang memancar dengan lembut. Ia mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya dengan perasaan heran, merasakan keajaiban tempat ini.

"Tempat apa ini?" gumamnya sambil melangkah lebih jauh, terpesona oleh keindahan yang ada di sekitarnya.

"Kenapa... begitu menenangkan dan nyaman, padahal hanya dihiasi oleh kabut tebal seperti ini?" gumam Raka dengan kekaguman.

Ia mulai memfokuskan ke depannya dan melihat seorang pemuda yang bergegas menghampirinya, dengan wajah yang memperlihatkan ketidakterimaan atas kehadirannya. Raka tertegun.

"Apa yang kau lakukan di sini, huh?" tanya pemuda tersebut dengan nada sinis.
namun, raka melihat kedua bola mata pemuda tersebut yang tampak berkilauan seperti memancarkan sinar yang hangat.

"Siapa kamu?" tanya Raka balik.

"Pergilah sebelum terlambat," peringatkan pemuda tersebut dengan serius.

"Untuk apa? Sepertinya ini tempat yang nyaman dan tak ada yang boleh melarangku. Kau belum tahu siapa aku!" sahut Raka dengan percaya diri.

"Kau hanya seorang titipan yang diamanahkan dan tak memiliki apapun," sarkas pemuda tersebut, sosoknya semakin transparan dan tampak halus.

Bayangan Kegelapan Where stories live. Discover now