3 - Penyesalan Dan Harapan

4 1 0
                                    

Lionel, yang sebelumnya puas dengan penderitaan saudaranya, juga terkejut dengan perintah ayahandanya. "Ayahanda, mengapa kamu menghentikan hukuman itu? Edwin harus bertanggung jawab atas perbuatannya!"

Erlangga menatap Lionel dengan tajam,
"Lionel, aku menyadari bahwa hukuman ini terlalu berlebihan. Aku tidak boleh membiarkanmu atau siapapun menderita seperti ini. Kita harus menyelesaikan perbedaan kita dengan cara yang lebih baik."

Lionel merasa terkejut dan kecewa dengan keputusan ayahandanya. Namun, dia tidak berani melawan perintah Erlangga. "Baik, Ayahanda. Aku akan menghormati keputusanmu."

*Mungkin belum saatnya, mari bermain main terlebih dahulu dengan malaikat mautmu, kakak tercintaku.* Gumam Lionel dalam batin, di raut wajah datarnya ia tersenyum samar.

Erlangga mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar algojo pergi. Suasana ruangan menjadi hening, hanya terdengar napas berat dan langkah langkah Erlangga yang mendekati Edwin yang tak sadar.

Erlangga menghampiri putranya dengan langkah hati-hati. Dia menatap wajah hingga tubuhnya putranya yang terluka dengan perasaan campuran antara kekhawatiran dan penyesalan. "Putraku, apa yang aku lakukan...?"

Erlangga berlutut di samping tubuh Edwin yang tergeletak lemah. Dia merasa perasaannya berkecamuk, konflik antara kekuasaan dan kasih sayang sebagai seorang ayah. "Pangeran, putraku... Maafkan ayahanda, sadarlah."

Tetapi Edwin tetap tak sadarkan diri, tubuhnya lemah dan penuh luka yang bahkan bertambah setelah perkelahian tadi. Erlangga merasa sesak di dadanya. Dia meraih tangan Edwin dengan penuh penyesalan. "Putraku, buka matamu sekarang, ini perintah."

Erlangga memandang Edwin dengan penuh penyesalan. "Putraku, ayahanda minta maaf atas hukuman yang kau terima. Ayahanda akan mencari cara untuk memperbaiki kesalahan ini."

Sementara Edwin masih tak sadarkan diri, Erlangga berjanji dalam hati bahwa dia akan mencari keadilan bagi anaknya. Dia menyadari bahwa ambisi Lionel telah mempengaruhi keputusannya dan dia harus bertindak dengan bijaksana.

Erlangga segera membawa tubuh Edwin yang penuh luka menuju ke kamar dengan langkah hati-hati. Lionel, dengan wajah yang masih dipenuhi kemarahan, mengikuti mereka dengan tidak senang.

Di kamar putra milik Edwin, kini pemiliknya terbaring lemah di tempat tidur. Erlangga meletakkan tubuh anaknya dengan lembut dan memerintahkan para pengawal untuk memanggil tabib istana segera.

Kadita, istri Erlangga melihat keadaan putranya dengan ekspresi campuran antara kekhawatiran dan kebingungan. "Suamiku, apa lagi yang terjadi dengan putra kita? Mengapa dia dalam kondisi seperti ini?"

Erlangga menatap Kadita dengan tatapan yang penuh penyesalan. "Aku telah membuat kesalahan. Aku mungkin terlalu keras terhadap pangeran kita, hukuman yang kuberikan padanya terlalu berlebihan, maafkan aku."

Kadita tambah terkejut dan sedih mendengar pengakuan itu. Dia mendekati tempat tidur putranya dan memegang tangannya dengan penuh kelembutan. Hatinya merasa perih hanya dengan melihat putranya terluka, meskipun perlahan luka itu tertutup dengan sendirinya.

Sebulir air mata berjatuhan dari pelupuk indah sang ratu, ia merasakan kesedihan melihat putranya yang tidak dalam kondisi baik kembali setelah beberapa tahun berlalu.

"Pangeran, putraku, kau akan cepat pulih. Ibunda akan merawatmu dengan sebaik-baiknya. Kamu putra ibunda yang sangat hebat, kamu bisa kembali pulih dan bermain seperti biasa. Ibunda percaya padamu, beristirahatlah dengan baik sekarang," Lirih Kadita dengan tangan yang dengan hati hati mengusap kepala putranya yang sudah lengket dengan keringat dan darah.

Liora, putri mereka, masuk ke dalam kamar dengan ekspresi cemas di wajahnya. Melihat Edwin yang terbaring lemah, dia merasa campuran antara kekhawatiran dan curiga terhadap Lionel yang hanya berdiri santai di dekat pintu.

Bayangan Kegelapan Where stories live. Discover now