BAB 32

75 13 0
                                    

Vida terus mengencangkan tangannya agar tetap menempel di telinganya.

"Sekarang sudah aman," ujar sosok tadi.

Vida sedikit bingung karena suara kali ini berbeda dengan suara yang tadi bicara kepadanya, kalau tidak salah ini berjenis Bariton.

Dia melepaskan kaki dan penutup mata Vida. Hal pertama yang dilihatnya adalah seorang lelaki sepantarannya tersenyum penuh ramah.

"Aku mengabulkan keinginan ulang tahunmu. Ayo, kita keluar dari sini," ajaknya mengulurkan tangan.

Bukannya langsung menerima uluran, Vida justru melihat sekelilingnya. Ruangan itu hanya disinari cahaya lampu redup tepat di atas kepala mereka, sedangkan pojokannya hanya disinari oleh cahaya lilin.

Di pintu belakangnya, Vida melihat beberapa jasad keluarganya tergeletak di lantai dengan kondisi mengenaskan. Beberapa lainnya berusaha melarikan diri dari mansion, namun berhasil digagalkan.

"Maaf aku harus membunuh seluruh keluargamu, salah mereka karena berani berbohong dan melanggar janji," ujarnya merasa tidak bersalah sedikit pun

"Tidak apa, lagipula mereka hanya peduli denganku di hari-hari terakhir sebelum ulang tahunku kali ini saja," sahut Vida terlihat biasa saja seolah tidak terlalu mempermasalahkan kematian keluarganya.

Lelaki misterius itu sedikit mengerutkan alisnya, tapi dia tetap tersenyum tipis. Tangannya masih terulur kepada Vida, berniat membantunya berdiri.

Vida menerima bantuannya. Kedua manik matanya kembali memperhatikan jasad kedua orangtuanya yang tidak sempat melarikan diri dari ruangan ini.

"Sampai kapan kau ingin hidup? Kurasa kau tau kalau aku perlu makan agar bisa semakin kuat, kan?" tanyanya.

"Bagaimana kalau kita membuat sebuah perjanjian?" Seperti yang kau lakukan dengan keluargaku dulu, akan kupastikan kau bisa makan banyak," saran Vida tanpa pikir panjang.

Lelaki itu sedikit terkejut mendengarnya. "Aku setuju saja tentang perjanjian, tapi apa rencanamu hingga bisa yakin begini?" tanyanya lagi.

"Aku akan menyewakan mansion ini, jadi kau bisa memakan penghuninya kapan pun kau mau. Asal tidak sampai ketahuan saja," jawab Vida memberitahu rencananya.

"Kalau dari penglihatanku, kau ini memiliki kecerdasan yang tinggi. Baiklah, ini adalah perjanjian kita." Lelaki itu berjalan ke salah satu jasad di sana, dia mengambil sesuatu dari tangan Arden.

Dia kembali menghadap Vida, dan mengulurkan telapak tangannya di bawah. Vida yang paham, meletakkan telapak tangan miliknya di atas. Keduanya saling berpegangan erat.

"Jadi, apa yang kau minta dariku?"

"Aku ingin kau terus membiarkanku hidup, sampai kapan pun. Kalau bisa, sampai kau mati."

"Wah, agak keterlaluan juga, ya. Meminta hidup selama aku hidup, tapi tidak masalah, asalkan kau tidak melanggar janjimu."

Dia memberikan Vida kalung kunci milik Arden tadi. Bentuk pegangan atas kunci itu mirip seperti simbol tempat mereka berdua berdiri.

"Kalau begini artinya kita berdua terhubung. Sekarang mari kita bereskan mansion tua ini kalau memang kau berniat menyewakannya."

Dia berniat beranjak keluar dari ruangan. Namun, Vida mencegahnya karena ada hal lain yang masih ingin ia tanyakan, yaitu namanya.

Lelaki itu berbalik menatap ke arahnya, dengan senyuman tipis dia menjawab, "Namaku adalah ...."

****

Arme cepat bangkit dari duduknya. Wajahnya terlihat sangat syok membaca nama di buku tersebut.

"Nicholas," ucapnya.

Arme menoleh ke jam yang menunjukkan pukul 22.45 PM. Buru-buru ia menutup buku tadi, lalu beranjak naik ke atas kasur.

'Kak Nicholas adalah monsternya selama ini?' Arme berusaha menenangkan dirinya sendiri sekalian berusaha untuk tidur.

Meski begitu, tetap saja itu terus mengganggu pikirannya. Arme meraih ponselnya di samping bantal, lalu mengirimkan pesan ke sebuah grup chat.

───────────────────────────────────

Anda
Ada yang ingin ku bicarakan dengan kalian besok, ini mengenai Vida.
Datang saja ke asramaku.

───────────────────────────────────

****

Besok harinya, mereka berempat berkumpul di dalam kamar tidur Arme. Arme sempat bingung karena Geon tidak ada, Nagisa memberitahu kalau kakak kelas mereka itu sudah izin datang terlambat karena suatu hal mendesak.

Arme mengangguk mengerti, ia menunjukkan buku harian lama Vida, dan mengatakan bagaimana bisa ada di tangannya.

Sesuai dugaannya, ketiga temannya itu kaget, bahkan Azura sampai menceramahi sebentar. Arme hanya meringis pelan sekaligus mengucapkan kata "maaf" untuk menanggapinya.

Jenathan meminta Azura untuk mengesampingkan masalah itu lebih dulu, yang penting sekarang adalah ada apa di dalam buku ini sampai Arme memanggil mereka berempat untuk datang.

Arme membuka halaman buku yang sudah ia beri pembatas berupa origami agar lebih mudah menemukan halaman yang ingin ditunjukkannya.

Singkatnya, Arme menjelaskan poin utama di halaman itu tentang tradisi aneh Keluarga Alaric dan identitas si monster yang ternyata adalah Nicholas.

Azura sempat tidak mempercayainya sampai akhirnya dia membaca sendiri isi buku serta berusaha mengenali tulisan tangan Vida. Bahkan sampai membandingkannya dengan tulis tangan Vida yang sekarang menggunakan foto buku catatannya.

"Kalau Kak Vida sendiri yang menulis ini, kenapa Kak Nicholas tidak mencegahnya? Padahal jelas-jelas di sini identitasnya diungkapkan," bingung Nagisa.

"Mungkin dia tidak tau. Sedekat apa pun kau dengan seseorang, pasti ada rahasia pribadi yang tidak boleh diceritakan, kan?" sahut Jenathan berusaha menjawab.

"Lalu, kenapa Nicholas membunuhnya?" bingung Azura gantian bertanya.

"Karena ... Kak Nicholas akhirnya tau Kak Vida menulis sesuatu di buku ini?" jawab Arme setengah ragu.

"Kalau iya, pasti buku ini sudah dihancurkan," sahut Jenathan. Mereka berempat semakin berusaha memikirkan jawabannya.

"Aku rasa Vida melakukan kesalahan yang menurut Nicholas sangat besar hingga akhirnya dia membunuhnya. Buktinya, anggota Keluarga Alaric yang lain saja dibantai karena memberitahu Vida rahasia yang seharusnya tidak boleh diketahuinya," jelas Jenathan mengutarakan isi pikirannya.

"Aku setuju. Monster ini sangat kejam kepada korban-korbannya," sahut Arme.

"Siapa sangka kita semua tertipu oleh Nicholas, dia itu benar-benar bertingkah sangat normal hingga tidak dicurigai. Bahkan Jenathan saja kaget mengetahuinya," ujar Azura.

"Aku sangat yakin kakekku juga akan kaget mendengar ini," timpal Jenathan.

"Sekarang bagaimana? Apa artinya kita harus membunuh Kak Nicholas?" tanya Nagisa kembali ke poin utama.

"Kalau membunuh, sepertinya iya. Tapi, kita tidak tau di mana dia tinggal selain di asrama sekolah. Aku takutnya dia tidak akan pulang dalam waktu dekat," jelas Jenathan kembali memasang raut wajah berpikir.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh Han dari luar. "Arme, Kak Geon datang bersama Kak Nicholas," ujarnya.

Panik. Arme menyuruh salah satu di antara mereka untuk menyembunyikan buku tadi sementara ia membukakan pintu kamar. Nagisa menyelipkan buku tadi di belakang tas sekolah Arme yang ada di atas meja belajar.

Geon dan Nicholas masuk ke dalam diiringi sapaan ramah. Teman-teman yang lain terlihat menyambut baik kedatangan mereka berdua.

'Baru dibicarakan, langsung datang ternyata.'

****

At the Midnight [END]✔Where stories live. Discover now