BAB 23

69 11 2
                                    

Malam itu, hujan kembali melanda setelah sempat berhenti selama 2 jam. Waktu menunjukkan pukul 23.22 PM. Di saat seperti ini, Arme masih belum tidur, lebih tepatnya tidak bisa.

Ia masih memikirkan kata-kata Jenathan tadi siang tentang "Penanda" yang ada di tubuhnya. Beberapa kali tangannya menyentuh pinggang sebelah kanannya untuk merasakan penanda itu, tapi tidak ada apa-apa, yang Arme rasakan hanya permukaan kulitnya itu mulus, padahal kalau dari foto yang Jenathan tunjukan seperti diukir.

Daripada memikirkannya sekarang, ada baiknya jika ia segera tidur. Arme berniat membalikkan posisinya, tapi tidak jadi, karena ia merasa ada sesuatu yang bersentuhan di punggungnya. Arme cepat memejamkan kembali kedua matanya.

"Buang ...!" Dia melirih tidak suka.

"Buang benda itu. Tidak suka ...."

Arme mengernyitkan keningnya. Apa kata "buang" yang dia maksud? Apa ada sesuatu yang tidak disukainya di kamar ini? Terlintas di ingatannya setelah Jenathan menjelaskan tentang penanda itu, dia memberikannya sebuah benda.

Benda itu dibaluti menggunakan kain. Ketika dibuka, isinya adalah sebuah gelang manik kayu yang salah satu maniknya memiliki sebuah ukiran khusus.

Dengan penuh keberanian, Arme menunjukkan tangannya yang terpasang gelang tadi ke sosok entah siapa di belakangnya.

"Sakit ...! Sakit ...!" Sosok tadi merintih, tapi Arme tidak mau berhenti, ia semakin nekat menyodorkan tangannya tadi ke belakang.

Kamar tidurnya seketika bergetar, beberapa barang di atas rak, meja, dan laci mulai berjatuhan ke lantai. Arme tetap setia mengangkat tangannya hingga gangguannya menghilang. Merasa kondisi sudah aman, Arme memaksakan dirinya tidur.

****

Di asrama lain, terlihat seseorang yang tiba-tiba terbaring lemas di atas sofa. Tangannya menggenggam erat sesuatu yang menggantung di lehernya.

"Vida." Si pemilik nama menoleh ke sumber suara.

Nicholas datang menghampirinya dengan tatapan khawatir. "Kau kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya.

Vida menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. "Hanya sakit biasa, mungkin penyakitku kambuh lagi," jawabnya.

"Malam-malam begini?"

"Penyakit tidak ada yang tau kapan munculnya, Nic."

"Akan ku buatkan teh, kau duduk saja, ya." Nicholas bergegas beranjak menuju dapur kamar asrama mereka.

Vida masih di posisi yang sama, tangannya semakin mempererat genggamannya, rintih sakit terdengar keluar dari mulutnya.

"Sakit ...!"

Nicholas kembali mendatanginya, dia menyalakan lampu penerang ruangan. Sebagai sahabat yang baik, dia juga membantu Vida bangun ke posisi duduk.

Dia hanya diam memandangi sahabatnya meminum teh buatannya. Nicholas menyadari ada sesuatu yang aneh di tangan kanan Vida, tanpa aba-aba dia langsung menariknya.

"Kenapa tanganmu seperti habis terbakar?!" Pertanyaannya membuat Vida terdiam, ditambah nada bicara Nicholas yang terdengar tidak bersahabat membuatnya tidak berani menjawab.

Meski begitu, Nicholas langsung sigap melakukan pertolongan pertama, lukanya dibaluti cukup rapi, dan telaten.

"Aku mau tidur, sebaiknya kau juga. Jangan lupa pastikan semua pintu dan jendela terkunci agar monster itu tidak masuk, paham?" pesan Nicholas kembali masuk ke dalam kamar tidurnya, dia mengunci pintu dari dalam.

Vida tidak menjawab, manik matanya menatap lama ke pintu kamar lelaki itu. Sekali lagi, dia memerhatikan tangannya yang sudah dibaluti perban.

****

Sabtu, hari di mana sekolah diliburkan juga. Pagi hari begini, Arme sudah berangkat menuju asrama Jenathan, ia harus sesegera mungkin memberitahu tentang apa yang dialaminya kemarin malam.

Tentu saja Jenathan kaget mendengarnya, padahal dia sendiri yang memberikan gelang itu. Arme bertanya darimana dia mendapatkannya, dan Jenathan menjawab kalau itu dari kakeknya.

Jenathan sendiri sebenarnya tidak tau banyak tentang alat-alat yang diberikan kakeknya. Maka dari itu, dia bersiasat pulang ke rumah hari ini, tentu saja menawarkan Arme untuk ikut, mungkin saja ada yang ingin ditanyakan.

Jenathan berencana menginap karena perjalanannya bisa mencapai 4 jam, dia menyarankan agar Arme membawa baju ganti.

Pada pukul 11.05 AM, mobil jemputan sudah sampai di depan gerbang utama, mobil tersebut datang dari rumah Jenathan langsung.

Mereka berdua langsung berangkat menuju Kota Gilden, kota kelahiran Jenathan. Sebagian waktu perjalanan Jenathan gunakan berbasa-basi sedikit dengan sopir pribadi keluarganya mengenai kehidupan sekolahnya, sedangkan sisanya ia habiskan bersama Arme, entah membahas apa, yang pasti bukan mengenai hal "itu" dulu.

4 jam berlalu, keduanya tertidur lelap di dalam mobil. Pak Sopir membangunkan mereka dan memberitahu kalau sebentar lagi mereka akan sampai di rumah. Jenathan sangat bersemangat, ini kedua kalinya selama hampir 3 tahun bersekolah di Alevia High School pulang ke rumah tercintanya.

Di teras rumah, terlihat seorang wanita paruh baya sedang duduk di kursi, raut wajahnya terlihat sangat menantikan kepulangan anak tersayangnya.

Begitu keduanya turun, wanita itu menyambut hangat keduanya. Kita panggil saja dia Emily. Jenathan sudah memberitahu ibunya kalau dia akan membawa temannya ke rumah.

Emily mengajak keduanya masuk ke dalam dulu untuk menyapa anggota keluarga yang lain. Bukan hanya ibunya yang menyambut kedatangannya ramah, ayah, kakak, dan adiknya juga ikut berperilaku demikian.

Di atas meja makan sudah tersusun berbagai macam hidangan sambutan, semua dibuat khusus menyambut mereka berdua.

"Kakek di mana?" tanya Jenathan tidak bisa menemukan kakeknya sedari tadi.

Salah satu kakaknya menjawab kalau kakek mereka mungkin sedang ada di halaman belakang, Jenathan bergegas pergi memeriksanya bersama Arme.

"Kakek!" Pria tua itu menoleh, dia menemukan cucunya yang sudah lama tidak dia lihat berdiri di depan pintu belakang rumah.

Pria tua itu menyambutnya hangat, dia terlihat sangat senang hingga akhirnya menyadari ada orang lain di sana. Matanya memerhatikan Arme dari atas hingga bawah.

"Kamu cucunya Karl, kan?" tebaknya tepat sasaran. Arme sedikit terkejut pria tua itu mengenal kakeknya, ia mengangguk pelan mengiyakan.

"Sudah lama saya tidak mendengar kabarnya, bagaimana dia?" tanyanya lagi.

"Kakek saya sehat, terima kasih sudah menanyakannya. Semoga Anda juga selalu sehat, ya," balas Arme sedikit membungkuk sopan. Pria tua itu tersenyum lebar, dia senang mendengar sahabat masa remajanya juga baik-baik saja.

"Kenapa tidak ada yang bilang kalau kamu mau datang?" Pandangan beliau kembali ditujukan kepada cucunya.

"Aku sengaja meminta ke mereka untuk merahasiakan dari kakek, agar menjadi kejutan, begitu," jelas Jenathan mengeluarkan senyum tengilnya.

"Dasar anak muda zaman sekarang," dengus kakeknya, tapi meski begitu beliau tetap senang.

"Kakek. Tujuan kami datang ingin membicarakan masalah "itu"." Kali ini raut wajah Jenathan berubah menjadi serius, begitu pula dengan kakeknya.

"Jadi ... dia memiliki hubungan dengan makhluk itu, ya? Makanya kau membawanya kemari," tebakan beliau tepat sasaran lagi.

Jenathan mengangguk. "Monster itu sudah menandainya di tubuhnya, nyawa Arme bisa terancam kapan saja, Kakek."

"Pasti ada sesuatu yang membuatnya tertarik kepadamu, Nak."

"Apa itu? Aku perlu mengetahuinya."

"Tidak di sini, nanti kita bicarakan di atas saja. Bersikaplah seolah tidak ada apa-apa di hadapan anggota keluarga yang lain, saya tidak mau mereka khawatir," pinta beliau.

Arme dan Jenathan setuju. Emily memanggil mereka bertiga untuk makan siang. Seluruh anggota keluarga sengaja menunda jam makan mereka demi bisa dinikmati bersama-sama.

"Ayo, masuk dulu," ajak si kakek. Ketiganya kembali masuk ke dalam rumah.

****

At the Midnight [END]✔Where stories live. Discover now