BAB 14

70 15 0
                                    

"Mel? Kamu di dalam?" Pak Davian membuka pintu kamar tidur Melva yang tidak dikunci, ruangan itu sangat kosong. Ia menyentuh permukaan kasur, rasanya dingin seperti sudah lumayan lama ditinggalkan.

Pak Davian sekali lagi memeriksa ponselnya, ia berusaha menghubungi gadis itu sekali lagi, namun tidak diangkat.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu, Pak Davian mendekat dan membukanya, ternyata beberapa anak murid lainnya.

"Pak Davian?" bingung mereka.

"Bapak ngapain di sini?" tanya Arme bingung.

"Seharusnya saya yang bertanya, kalian ngapain? Kalian tau Melva ada di mana?" tanya balik Pak Davian.

"Kami tidak tau, Pak. Malahan kami ke sini ingin menjenguknya, mungkin saja sakit begitu," jelas Vida.

"Dia tidak ada di sini, saya sudah cari ke mana-mana loh." Pak Davian semakin gelisah, untuk ke sekian kalinya melihat ke ponselnya, tapi tidak ada apa-apa.

"Kok Pak Davian ada di sini?" bisik Arme masih bingung.

"Melva tuh keponakannya, makanya beliau sampai datang ke sini, dan itu artinya Melva benar-benar tidak ada kabar sama sekali sampai sekarang," jelas Nagisa ikut berbisik.

"Kalian ini tau sesuatu, tidak? Bukannya terakhir kali dia main bersama kalian?" tanya Pak Davian tidak putus asa.

"Waktu kami bubar, kami masih bersama, Pak. Aku, Vida, dan Geon yang juga berasrama di sini aja saling pamit ke dia juga sebelum ke kamar masing-masing," jelas Nicholas.

Pria dewasa itu memijat pelipisnya yang terasa sakit. "Saya mau melapor ke polisi saja," ujarnya.

"Sebaiknya lapor ke Kepala Sekolah dulu, Pak. Biar mudah urusannya nanti," saran Vida. Pak Davian tanpa pikir panjang langsung setuju. Mereka berdua pamit kembali ke gedung sekolah dulu, sementara yang lain disuruh menunggu di dalam.

Selagi menunggu, Arme, Nagisa, Geon, dan Nicholas berpencar menyelidiki setiap ruangan di sana dengan harapan bisa menemukan petunjuk.

"Kak Melva tinggal sendiri di sini? Padahal ada dua kamar," tanya Arme.

"Iya, dia tinggal sendirian di sini. Beruntung sekali, kan? Kadang aku iri, tapi seram juga kalau tiba-tiba mati listrik di malam hari," sahut Geon.

Arme mengangguk paham, ia ingin memasuki kamar tidur itu, tapi pintunya terkunci. "Kira-kira kuncinya di mana? Aku ingin masuk," ujarnya.

"Itu ada di Ruang Kepala Sekolah," jawab Nicholas, "sebentar, ku hubungi Vida untuk membawakan kuncinya." Dia cepat mengetikkan pesan ke kontak sahabatnya.

Arme menatap penuh selidik ke pintu itu dari atas hingga bawah, entah kenapa ia seperti merasa ada sesuatu di dalam sana. Ketika matanya mengarah ke bawah, ia menemukan sesuatu di lantai, mirip seperti sebuah cairan kering.

Arme berjongkok, telunjuknya mengusap cairan tadi, hidungnya berusaha mengendus. Bau darah. Kedua bola matanya membulat sejenak, ia semakin mempertajam penglihatannya ke detail pintu, jari-jemarinya meraba-raba permukaan.

Ada bekas cakaran kecil di sana, hanya saja tertutup tirai, jadinya tidak terlihat jelas kalau tidak diperhatikan teliti. Arme memanggil Nagisa untuk mendekat.

"Ada apa?" tanya Nagisa terpanggil.

"Menurutmu ini mirip tidak seperti yang kau lihat di ruangan?" tanyanya pelan. Nagisa memperhatikan bentuk bekas cakaran tadi.

"Mirip sih, hanya saja ini ukurannya sedikit lebih kecil," jawabnya ikut menurunkan volume suaranya.

"Aku curiga dengan ruangan ini, coba kau endus bau ini." Arme menyodorkan telunjuknya tadi, Nagisa menurutinya untuk mengendus bau.

At the Midnight [END]✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora