BAB 25

66 12 0
                                    

Malam harinya, ruangan itu kosong. Mereka duduk santai di balkon luar kamar sambil menikmati beberapa makanan ringan, memperhatikan langit penuh bintang bertebaran.

Beberapa kali mereka saling berbicara hal random untuk menghidupkan suasana. Angin malam yang bertiup mengenai permukaan kulit terasa sangat menenangkan. Setelah sekian lama, akhirnya Arme bisa merasakan kembali ketenangan di malam hari tanpa ada batasan waktu.

Jenathan merasa lega melihat ekspresi Arme yang terlihat nyaman di rumahnya. Pandangannya kemudian kembali tertuju ke sebagian kecil kota yang terlihat di sana, lampu-lampu dari setiap bangunan terlihat sangat indah.

"Jadi rindu rumah," celetuk Arme tiba-tiba.

"Nanti di hari libur selanjutnya, kau pulang saja ke sana," saran Menahan menyahuti.

"Tidak bisa. Aku tidak bisa pulang tanpa membawa apa pun, ibuku sudah berpesan kalau saat aku pulang, aku harus membawa sesuatu yang membanggakan," tutur Arme.

"Biasanya yang begitu karena ingin pamer ke tetangga."

"Memang iya."

"Maaf kalau tidak sopan, tapi sepertinya ibumu haus pujian," ujar Jenathan lagi.

Arme lagi-lagi tidak menyalahkan perkataannya. "Begitulah. Sudahlah nasibku sebagai anak tunggal, dibebani ekspetasi orangtua."

"Aku tidak bisa memberikan komentar apa pun tentang itu." Jenathan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kak Jenathan, menurutmu bagaimana?" tanya Arme tiba-tiba.

"Apanya?"

Jenathan kembali menatap ke arah Arme, begitupun sebaliknya. "Tentang keluargamu yang dulu adalah penjaga atau apa lah bagi monster itu. Bagaimana menurutmu?" ulang Arme sedikit menjelaskan maksud pertanyaannya.

"Jujur, aku berada di tengah-tengah rasa percaya atau tidak. Aku bisa percaya karena buktinya adalah benda-benda peninggalan yang masih tersimpan, tapi kalau dipikirkan lagi menggunakan logika, ini sama sekali tidak masuk akal," jelas Jenathan.

"Aku mengerti, pasti sulit, kan?"

"Anak-anak, masuklah ke dalam dan kunci pintu, bisa-bisa kalian masuk angin lho," pinta Emily yang kebetulan lewat dj depan kamar itu.

"Iya, Ibu!" sahut Jenathan sekalian mewakili Arme.

Keduanya langsung kembali masuk ke dalam, Jenathan menutup pintu lalu menguncinya. Tubuh lelah mereka jatuh terbaring di atas permukaan empuk seperti matras dan kasur.

"Besok pagi kita akan pulang, jangan sampai terlambat bangun, ya," pesan Jenathan menarik selimutnya yang ada di ujung kasur.

"Kita lihat saja nanti, siapa yang bangun lebih dulu," sahut Arme berhasil menemukan posisi yang nyaman.

"Aku anggap itu sebagai tantangan, yang kalah harus membawakan barang yang menang!" seru Jenathan bersemangat.

"Setuju!" balas Arme.

****

Sepanjang sarapan bersama, Jenathan memasang raut wajah murung, sedangkan Arme tersenyum penuh kemenangan. Dari sini sudah tertebak siapa yang kalah, kan?

Saudara-saudaranya terlihat sangat menikmati momen ini, sepanjang di meja makan, mereka meledeki kekalahan Jenathan.

"Tenang saja, barangku tidak banyak kok, " ledek Arme ikut-ikutan.

"Aku sengaja ngalah. Aku takut kau tidak sanggup membawa barang-barangku," ketus Jenathan membuang mukanya.

"Hahaha, begitukah? Baiknya."

At the Midnight [END]✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon