BAB 21

66 11 0
                                    

Jenathan mengeluarkan sebuah benda yang mirip seperti belati, hanya saja benda itu dipenuhi ukiran-ukiran di permukaannya. Arme sedikit kaget melihat benda berbahaya itu, tapi berbeda dengan Azura yang justru terlihat biasa saja.

"Kalau pakai benda ini tinggal tusuk di jantungnya pun selesai. Tapi, mengingat ukurannya yang membesarkan seperti yang dikatakan Azura, tentu akan susah menjatuhkannya," jelas Jenathan meletakkan benda itu di hadapan mereka bertiga.

"Memangnya mempan? Peluru yang kau tembakkan saja seperti tidak berpengaruh apa pun, padahal aku yakin itu mengenai tubuhnya," tanya Arme merasa ragu.

"Tembakan itu memang direncanakan untuk melukai saja, menurutku mungkin itu cukup untuk membuatnya lengah sebentar. Karena bisa bahaya kalau benda ini dihancurkannya, dia tidak akan bisa dibunuh."

"Dari mana dan bagaimana bisa kau membawa senjata ke sekolah? Memangnya saat pembagian kamar asrama tidak diperiksa barang bawaanmu?"

Jenathan terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang pas untuk dikeluarkan. "Baiklah, oke. Pertama, semua benda begini milik kakekku. Kedua, barang bawaanku tentu diperiksa juga. Dan ketiga, tentang bagaimana bisa senjatanya aman di sini, itu rahasia pribadiku, paham?"

"Kakek Jenathan juga ingin membunuh monster itu dulu, tapi gagal. Makanya beliau mengizinkan cucunya ini membawa semua barang-barangnya," tambah Azura.

"Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini, tapi aku sudah berjanji kepadanya saat dia tau monster kembali muncul saat kami masih kelas sepuluh," lanjut Jenathan turut menambahkan penjelasannya sendiri.

"Saat kalian kelas sebelas, ada kejadian begini, tidak?" tanya Arme lagi.

"Tidak ada, tahun itu sekolah terasa sangat damai. Tapi, di tahun juga lah aku mulai menyusun segalanya sampai Azura mau bergabung denganku," jawab Jenathan merapikan kembali barang-barangnya.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 18.00 tepat. Arme pamit pulang kalau memang sudah tidak ada yang penting lagi untuk dibahas, Azura juga. Jenathan mengantarkan kedua tamunya ke depan pintu.

****

"Han, aku boleh bertanya?" Arme tiba-tiba melontarkannya di tengah ketegangan yang sedang menyelimuti ruangan saat ini.

Mereka berdua sibuk menonton film di ruang tengah kamar asrama mereka. Bermodalkan proyektor kecil yang Han bawa dari rumah dan dinding yang berwarna putih, seketika kamar tersebut disulap menjadi bioskop pribadi.

"Kenapa? Tumben sekali." Han meraih segelas air di atas meja di sampingnya.

"Mulai kapan kau percaya dengan monster?"

Han tidak jadi meneguk minumannya, dia menatap sedikit tidak percaya ke Arme. "Wah, sepertinya kau sudah mulai percaya omonganku, ya," godanya terkekeh kecil.

"Aish, jangan begitu. Habisnya kau selalu membahas itu kalau ada kejadian aneh, makanya aku penasaran." Arme berkacak pinggang kesal. Han mengangguk paham, dia memang sengaja mengisenginya.

Sorot matanya kembali tertuju ke film yang masih ditayangkan di hadapan mereka. "Tidak terlalu lama sih, sekitar kelas delapan. Itu pun aku taunya karena kakakku, dia bersekolah di sini dulu."

"Begitu ternyata." Arme memilih tidak menanyainya lagi.

"Ngomong-ngomong soal kakak. Arme, kau ini punya saudara atau tidak?" Kali ini giliran Han yang melontarkan pertanyaan.

"Aku anak tunggal," jawab Arme singkat.

"Enaknya."

"Apanya yang enak? Kalau misal aku gagal, tidak ada kesempatan kedua untuk orangtuaku."

"Tetap saja enak, kau bisa mendapatkan apa pun yang kau mau tanpa membaginya."

"Tidak salah tapi tidak juga. Ayahku pelit."

****

Besok siang harinya di sekolah, Geon mengajak Arme bertemu di dekat Ruang Kesenian. Sepertinya, ada hal serius yang harus disampaikan.

"Arme, kau serius ingin membunuh monster itu bersama Jenathan?" Pertanyaan pertama sudah pasti bisa ditebak.

"Iya, aku serius," jawabannya membuat Geon sedikit terkejut.

"Tapi yang dia curigai itu Vida! Bagaimana bisa kau setuju dengannya?" tanya Geon lagi, antara kesal dan kecewa tercampur aduk di ekspresi wajahnya.

"Karena aku rasa, kepercayaanku ke Kak Vida sudah menurun. Lagipula aku membunuh saat di wujud monster saja, kalau ternyata dia bukan Kak Vida, setidaknya Kak Vida tidak mati di tanganku," jawab Arme enteng.

"Kau tau kami tidak menyukai Jenathan, kan? Dan kau memilihnya."

"Aku tau, makanya aku mencoba menjauh perlahan dari kalian. Kalau tidak terima, silahkan saja musuhi aku juga. Aku tidak peduli, Kak Geon. Aku hanya ingin semua ini berakhir."

"Jangan begitu ...." Geon terus berusaha membujuk Arme kembali.

"Kalau dia memang tidak mau, tidak usah dipaksa," sela Nicholas menghampiri mereka berdua. Sorot matanya yang tajam memerhatikan Arme dari atas hingga bawah.

"Dia lebih memilih menjadi musuh circle kita, ya sudah, biarkan saja. Tapi asal kau tau, ya, Vida itu tidak bersalah."

Tatapan Nicholas terasa ttaja serta menusuk. Dia kemudian merangkul dan membawa Geon menjauh dari sana, meninggalkan lelaki bermata Hazel itu sendirian. Azura ternyata mendengarkan sebagian pembicaraan mereka bertiga ketika ingin menuruni tangga, dia langsung menghampiri Arme.

"Hai," sapa Azura agar kesannya tidak terlalu tiba-tiba.

"Hai juga, Kak," sapa balik Arme. Ia tersenyum ramah seperti biasanya seolah tidak terjadi apa-apa tadi, padahal pembicaraan barusan cukup serius.

"Kau tidak sedih, kan?" Azura langsung masuk ke topik utama. Seolah paham apa yang dimaksud, Arme menggeleng pelan sambil tersenyum kecil.

"Aku tidak sedih. Aku hanya mengkhawatirkan keselamatan mereka saja," ujarnya.

"Aku mengerti, mereka sangat percaya kepadanya," sahut Azura setuju, "semoga saja kita cepat menemukan rencana baru dan kembali beraksi, ya. Aku tidak bisa memberikan banyak informasi sekarang karena benar-benar disembunyikan ketat," jelasnya kemudian.

"Sangat mencurigakan, ya," balas sahut Arme.

"Begitulah. Ayo,  ke cafetaria saja." Azura menariknya pergi dari sana.

Di cafetaria, mereka berdua melihat Jenathan yang sedang makan sendirian di pojokan. Azura iseng berencana mengagetkan dari belakang, namun sayangnya keburu diketahui Jenathan lebih dulu.

"Yahh, gagal deh," ledeknya.

Azura berdecak sebal sambil memukul punggung sahabatnya itu. "Menyebalkan," gerutunya. Arme tertawa kecil melihat interaksi keduanya.

Manik matanya kemudian tertuju ke salah satu meja yang menurutnya sedang memerhatikan mereka. Ternyata itu Nagisa, dia datang bersama yang lain, mereka juga sedang makan di sini.

Arme langsung mengalihkan pandangannya, tidak mungkin Nagisa tidak tau. Baru kali ini Arme merasakan bagaimana rasanya dijauhi dan dianggap musuh begini di dalam hidupnya.

Jenathan menepuk punggung tangannya demi menyadarkan dari lamunan. "Jangan berdiri saja, duduk di sini," suruhnya bergeser sedikit, memberikannya ruang di kursi.

Mata Jenathan tertuju ke meja yang tadi Arme perhatikan. "Tidak usah dipikirkan, nanti mereka akan berterima kasih kalau kita berhasil membunuhnya. Mereka hanya tidak tau karena si monster ini sangat pandai bermain drama," tuturnya berusaha terlihat cuek ke meja itu.

"Dengarkan dia, Arme. Dia ini lebih berpengalaman daripada kita, malahan ini menurun langsung dari kakeknya sendiri," celetuk Azura tersenyum lebar.

"Hidup itu memang penuh cobaan, Azura. Tinggal kita sendiri memilih mau mencobai yang mana dulu," kata Jenathan.

"Hahaha. Sialan," umpat Azura tertawa pelan.

Dari yang awalnya hanya sebuah rasa sakit dan kosong, secara perlahan kehangatan kembali terisi di dalam hati Arme. Jenathan dan Azura tidak seburuk yang Vida dan Nicholas bilang.

****

At the Midnight [END]✔Onde as histórias ganham vida. Descobre agora