BAB 16

78 13 3
                                    

Siang ini cafetaria penuh diisi oleh para murid dari berbagai kelas setiap angkatan, sebagian ada yang mengantri untuk mengambil makanan, dan sebagian lainnya ada yang membawa bekal sendiri dari asrama.

"Setelah sekian lama, akhirnya kau makan daging lagi, ya," celetuk Geon ketika melihat isi lauk kotak bekal Nicholas.

"Bukannya di sini ada daging juga?" tanya Nagisa.

"Memang, tapi tidak dimasak menjadi olahan kesukaanku," jawab Nicholas kemudian mengambil suapan pertama bekalnya.

"Vida, mau?" tawarnya.

"Tidak. Aku sudah makan banyak itu kemarin," tolak Vida. Nicholas lanjut menawarkan ke yang lain. Arme dan Nagisa ikut menolak, tapi tidak dengan Geon. Lelaki itu menerima tawarannya.

"Teksturnya agak beda, ini daging apa?" tanya Geon.

"Daging sapi, hanya kurang lama direbus saja. Teksturnya agak keras, kan?" tebak Vida menjawab. Geon mengangguk.

"Sudah ku bilang, kau terlalu cepat mematikan api kompornya! Harusnya kau biarkan aku saja yang merebus dagingnya!" Vida memukul pelan bahu Nicholas.

"Aku kan tidak tau! Sudah lama aku tidak memasak daging, makanya aku lupa!" Bela Nicholas untuk dirinya sendiri.

"Ngomong-ngomong, katanya Pak Justin hari ini ulang tahun, ya?" Vida mengganti topik pembicaraan.

"Iya, tapi kami tidak bisa merayakannya karena beliau sedang di luar kota," jawab Nagisa.

"Eh? Sejak kapan?" tanya Nicholas.

"Sejak .... seminggu yang lalu, ibu beliau sakit, jadinya pulang untuk merawat," jawab Arme.

"Semoga cepat sembuh, ya," ujar Geon.

"Iya. Tapi di sisi lain kami satu kelas senang sih karena jadi punya jam kosong, tugas pun tidak berikan," sahut Arme terkekeh pelan.

"Agak kurang ajar, ya. Tapi aku paham bagaimana rasanya kalau guru pengajarannya Pak Justin," balas Geon ikut terkekeh.

Seorang siswa lewat di depan meja mereka, dia melemparkan tatapan penuh sinis ke salah satu di antara mereka, yaitu Vida, tapi yang membalas tatapannya justru Nicholas. Siswa tadi berjalan menuju pintu keluar cafetaria.

"Dasar freak," hina Nicholas.

"Dia yang waktu itu berantem sama kamu kan, Kak?" tanya Arme pelan.

"Iya, si Jenathan," jawab Nicholas lanjut memakan bekalnya.

"Dia sebenarnya punya masalah apa ke kamu, Vi?" tanya Geon penasaran.

"Mana aku tau, kenalan secara resmi aja tidak pernah," jawab Vida.

Arme terus menatap ke arah yang sama beberapa saat sebelum akhirnya ia sadar kehilangan sesuatu di tubuhnya. "Ponselku tertinggal!" paniknya bergegas pergi.

Teman-temannya tertawa melihat kecerobohannya. "Bisa-bisanya dia baru sadar sekarang," ujar Vida berusaha menghentikan tawanya.

****

Arme berniat kembali ke cafetaria setelah berhasil menemukan ponselnya, untung saja tersimpan di dalam laci mejanya. Arme tidak terlalu memperhatikan jalannya hingga tidak sengaja menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya, botol minum kemasan plastik di tangan orang itu sampai jatuh ke lantai.

"Maaf! Aku tidak memperhatikan jalanku," sesal Arme bergegas mengambilkan botol minum orang tadi. Ketika ingin mengembalikan, matanya tidak sengaja melihat name-tag nya. Jenathan Eira, namanya tertulis di sana.

"Lain kali hati-hati, bersyukurlah bukan guru yang kau tabrak," ujar siswa bernama Jenathan itu, dia menerima botol minumnya yang dikembalikan.

"Terima kasih, semoga kau selalu selamat darinya." Kedua kakinya mulai beranjak dari sana.

"Kak Jenathan," panggil Arme yang berhasil membuat langkah kaki Jenathan berhenti. "Yang kamu maksud itu ... dari monster atau Kak Vida?"

Jenathan menoleh ke arahnya lalu berkata, "Ternyata kamu sudah tau tentang monster itu, ya. Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain saja?"

Mereka pergi ke luar gedung sekolah dan duduk di salah satu kursi dekat lapangan, ada beberapa murid lain di sana yang bermain sepak bola dan basket.

"Aku memiliki firasat kuat kalau monster itu ada di sekolah ini dan menyamar menjadi murid di siang hari untuk mengintai mereka," ujar Jenathan langsung ke inti pembicaraan.

"Mengintai? Apa yang diintainya?" tanya Arme.

"Apalagi kalau bukan makanannya. Bukan hanya murid, guru serta staff pun pernah menjadi korbannya, dan orang yang ku curigai adalah si Ketua OSIS, Vida Jean Alaric," jawabnya.

"Kenapa kau bisa mencurigainya? Apa alasannya?"

"Pertama, aku ingin bertanya. Kalian ini akrab, kan?" tanya balik Jenathan, Arme mengangguk pelan.

"Nah. Kau pasti sadar kalau tidak ada polisi yang datang ke sekolah kita, apalagi setelah kematian dua siswi kemarin, anak angkatanmu dan Melva."

"Lalu? Apa hubungannya dengan Kak Vida?"

Jenathan menghela napas pendek. "Waktu jasad mereka berdua ditemukan, Vida pasti langsung mengambil alih, kan? Dia bahkan tidak pernah cerita sama sekali tentang rinciannya, tiba-tiba masalahnya selesai begitu saja. Keluarga para korban pun terlihat biasa seolah sudah diurus orang terpercaya seperti polisi."

"Tapi, kalau misalkan polisi yang mengambil alih, pasti mereka akan datang kemari apa pun alasannya demi penyelidikan, kan? Apa kau tidak pernah sama sekali memikirkannya?"

Penjelasan masuk akalnya membuat Arme tertegun sejenak. "Dari mana kau tau tentang itu?" tanyanya lagi.

"Kebetulan sekali sahabatku wakilnya, dan dia tidak pernah diizinkan tau sedikit pun tentang penanganan kasus ini. Bukannya itu aneh? Seorang wakil OSIS tidak diizinkan tau, padahal ketuanya diizinkan, malahan menangani bersama Kepala Sekolah. Aku berani bertaruh mereka berdua menyembunyikan sesuatu di sini," jelas Jenathan melihat kedua tangannya santai.

Melihat adik kelasnya yang terdiam mendengarkan penjelasan panjang lebarnya membuat lelaki berambut under cut itu menyeringai kecil. "Sepertinya aku terlalu banyak bicara, aku tidak tau apakah otakmu itu mampu mencernanya dengan baik. Jadi aku akan berhenti menjelaskan sekarang."

"Secara terang-terangan kau mengatakan kalau ini adalah kasus pembunuhan yang sudah direncanakan dan dilakukan oleh Kak Vida, " tutur Arme pelan.

"Tidak. Aku tidak bilang mencurigainya sebagai "pelaku pembunuhan", tapi sebagai "monster" di balik semua kesengsaraan Alevia High School selama ini." Jenathan benar-benar menekan salah satu dari kalimat yang dilontarkannya.

Arme kembali diam, ia berusaha mencerna pikirannya. Lagi-lagi Jenathan menghela napasnya untuk kesekian kalinya.

"Begini saja, silahkan datang ke asramaku kalau kau mau kutunjukkan sesuatu yang mungkin akan merubah pikiranmu." Tangannya mengeluarkan notepad dan pulpen, kemudian menuliskan sesuatu di atas lembaran notepad tadi, kemudian memberikannya ke Arme.

Bel sekolah berbunyi, Jenathan pamit kembali lebih dulu ke dalam gedung sekolah. Mereka berdua tidak sadar kalau sedari tadi ada yang memerhatikan mereka dari sebuah jendela di lantai 2.

"Ada-ada saja," ucapnya.

****

At the Midnight [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang