BAB 7

84 15 0
                                    

"Halo semua, kembali lagi bersamaku, Mina. Malam ini aku tidak bisa tidur, jadinya aku akan jalan-jalan dari asrama menuju sekolah," ucap seorang gadis memandangi layar ponselnya yang sedang merekam, ia sesekali membuat pose seperti akan difoto.

Kamera dibalik menjadi menghadap jalanan di depannya, ia terus berjalan. "Malam ini bulan terlihat cerah, kan? Aku harap kalian tidak bosan menontonnya, karena jalan ke sekolah memang lumayan jauh." Dia mengarahkan kamera ke atas langit.

Sekitaran 7 menit kemudian, akhirnya gedung sekolah mulai terlihat, ia bergegas masuk lewat gerbang utama, dan berjalan di lapangan. "Yeeeyy, kita sampai!!" girangnya, "tunggu, apa itu? Sangat aneh," bingungnya melihat sosok lumayan besar di sudut lapangan yang gelap. Ia mencoba memperbesar zoom kameranya agar bisa melihat lebih jelas.

Namun, monster itu menyadarinya dan cepat menoleh ke arahnya, dia menyeringai, menampakkan semua gigi tajamnya, kukunya pun mulai memanjang.

"Ah!? Dia melihatku! Tidak! Jangan kejar aku!"

Jeritan melengking ia keluarkan, lalu kamera terjatuh. Monster itu terus mengejarnya, tidak peduli sesakit apa telinganya mendengar jeritan tadi, yang penting adalah mangsanya tidak kabur ke mana-mana.

"TIDAK! KUMOHON, LEPASKAN AKU!"

"AKU TIDAK MAU MATI! TOLONG LEPASKAN AKU!!" Mina kembali menjerit untuk kedua kalinya, tapi setelahnya suaranya menghilang tidak terdengar lagi.

****

Vida mematikan video rekaman itu. Mereka berenam ternyata kembali berkumpul di Ruang Rahasia pada siang harinya. Semua dimulai dari Geon yang berkata ingin melihat rekaman di ponsel korban tadi malam, akibat rasa penasaran, mereka semua bergegas berkumpul.

"Wujud monster itu belum terekam jelas, tapi keburu menyadari keberadaannya. Kasian sekali." Miris Nagisa.

"Bagaimana tentang keadaannya?" tanya Melva.

"Masih dicari, korban masih belum ditemukan," jawab Geon.

"Walau terdengar mustahil, kita harap dia baik-baik saja," ucap Nicholas, "ini yakin nggak mau melibatkan polisi?" tanyanya kemudian.

"Aku menemui Kepala Sekolah, kata beliau tidak usah, mereka bisa menanganinya sendiri seperti biasa. Tuan Alevia pun juga setuju," jelas Vida.

"Siapa itu Tuan Alevia?" tanya Arme penasaran.

"Dari namanya pun harusnya kau sudah tau, dia adalah pewaris pemilik sekolah ini," jawab Melva.

"Jangka pencarian kemungkinan seminggu, kalau dapat petunjuk akan diperpanjang menjadi sebulan. Cukup berdo'a saja korban bisa ditemukan," tambah Vida kemudian.

****

Sudah 3 hari semenjak kejadian malam itu, dan pihak sekolah masih belum menemukan secuil petunjuk. Arme terus merenung di depan jendela kamar tidurnya, menatap rintik hujan yang turun tak terhitung jumlahnya.

Kalau Han? Jangan ditanya lagi, dia sibuk bermain di kamar asrama lain. Pintu diketuk, Arme segera membukakannya. Seorang gadis sepantaran dengannya berdiri bersama Nagisa di sampingnya. Dia mengatakan kalau mereka berdua dipanggil ke Ruang Kepala Sekolah.

Gugup. Sesampainya disana, gadis tadi menyuruh agar Nagisa masuk lebih dulu ke dalam, sedangkan Arme menunggu di luar bersamanya.

15 menit berlalu, diiringi Nagisa yang keluar, Arme langsung disuruh masuk, ia tidak sempat bertanya apa yang terjadi di dalam sana.

"Kamu pasti Arme, kan? Duduk dulu, Nak," ucap Kepala Sekolah, ramah.

"Saya dengar dari Vida, kamu bermalam di sini bersama teman kamu tadi dan beberapa anggota OSIS, benarkah itu?"

"Iya, benar, Bu."

Kepala Sekolah menarik senyuman kecil. "Artinya kamu pasti juga tau tentang kejadian di sana, kan?"

Sudah tertebak, pasti bertanya tentang itu. Arme sekali lagi mengiyakannya.

"Kamu bisa ceritakan apa aja yang kamu lakuin malam itu? Saya ingin mendengarkan versi kamu sendiri, Nak," pinta beliau.

Dengan sepenuh hati Arme melakukannya, ia menceritakan semua aktivitasnya pada malam itu, dari awal berkumpul hingga ketika mereka semua keluar untuk memeriksa kondisi belakang sekolah. Kata demi kata ia perhatikan baik-baik agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Kamu ada melihat hal mengganjalkan di TKP tidak pada malam itu?"

Arme menggeleng. Kepala Sekolah mengangguk pelan, tanda ia paham. Tangannya terlihat menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. "Oke, kamu boleh keluar. Terima kasih, ya, Nak," ucap beliau ramah.

Sekali lagi Arme mengangguk mengiyakan, lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut, ia langsung menghampiri Nagisa yang menunggu di sana.

Mereka beranjak turun ke lantai bawah sambil membahas apa yang terjadi di dalam. Nagisa tidak terlalu terkejut ketika Arme ternyata disuruh melakukan hal yang sama sepertinya.

Mereka duduk di bawah pohon rimbun dekat danau, suasana yang sejuk sehabis hujan membuat hati tenang dan mengantuk. Nagisa bersandar ke batang pohon, kepalanya sedikit mendongak ke atas, namun matanya malah justru melihat sesuatu.

Ia lekas berdiri, mencoba memperhatikan lebih jeli. Arme yang memerhatikannya menjadi bingung dan ikut berdiri. "Ada apa?" tanyanya.

Nagisa menunjuk ke atas. "Itu apa?" tanyanya balik.

Di salah satu dahan pohon, seperti ada sesuatu yang menggumpal. Arme tanpa pikir panjang langsung memanjat naik, setelah mendapatkannya, dia langsung melemparkannya kepada Nagisa di bawah.

"Hanya sweater," ujarnya setelah berhasil turun.

Nagisa tau, hanya saja sweater ini terasa tidak asing baginya. Kepalanya terus berusaha mengingat. "Arme. Bukannya ... sweater ini mirip seperti yang dikenakan korban di video waktu itu?"

Arme mengambil sweater itu kembali, ia merentangkannya lebar, terdapat noda darah dan robekan besar di bagian belakangnya. Jantung mereka berdegup kencang seketika.

"Apa jangan-jangan dia sudah mati ...?"

"Cepat cari di sekitar sini!"

Mereka bergegas mengitari daerah sekitar dan memeriksa semua yang menurut mereka mencurigakan, mulai dari semak-semak, dahan, dan lubang pada batang pohon.

"Apa lagi itu?" Nagisa melihat ada sesuatu yang tergeletak di balik semak-semak.

Sebuah rambut, tidak, kepala beserta bagian tubuh yang hanya sampai dada. Nagisa langsung berteriak histeris melihatnya.

Arme ikut syok mengetahui apa yang gadis ini temukan di balik semak-semak. Ia menarik Nagisa sedikit menjauh agar bisa ditenangkan, lalu menelpon Geon agar cepat datang. Setibanya mereka, Melva segera mengambil alih untuk menenangkan Nagisa, sedangkan Arme menemui yang lain.

Sama seperti keduanya, ketiga lelaki kelas 11 ini juga sangat syok melihat tubuh korban yang sisa setengah. Tentu agak ngeri kalau dilihat. Arme menyerahkan sweater tadi ke Vida sebagai bukti lainnya.

"Kenapa harus terjadi ...?" lirihnya merasa sakit.

Nicholas berjongkok di depan jasad Sang Korban, dia bantu menutupkan matanya yang masih terbuka lebar, kemudian menutupi seluruh tubuhnya menggunakan kain putih.

"Ini terlalu menyakitkan," tuturnya.

"Jadi, sepertinya kasusnya akan ditutup sampai sini saja," ujar Vida serius.

"Kenapa? Kenapa tidak mencari monsternya sekalian dan membunuhnya? Dengan begitu, kan, tidak ada kejadian begini lagi," saran Arme.

"Karena itu mustahil dilakukan." Arme mengerutkan keningnya tidak mengerti. Kenapa nada bicara Vida terlihat seperti dia tidak begitu peduli?

Padahal, tinggal mencari akar masalahnya saja dan pasti sekolah ini akan damai untuk selamanya. Kedua manik matanya menatap penuh selidik dari atas hingga bawah.

'Ada yang aneh di sini.'

****

At the Midnight [END]✔Where stories live. Discover now