BAB 24

61 13 0
                                    

Selesai makan bersama, Jenathan mengajak Arme menuju kamarnya yang ada di lantai 2 rumah. Kamar tersebut terlihat sangat terawat, sesekali Emily masuk ke sana untuk membersihkan debu-debu.

Kamar Jenathan ini bisa dibilang seluas kamar tidur mereka di asrama, sekitar 4x6 Meter. Tata letaknya yang rapi ditambah desainnya yang minimalis membuat ruangan tersebut benar-benar terasa besarnya.

Arme meletakkan tas bawaannya di salah pojokan. Jenathan mengajaknya melihat-lihat ke balkon kamarnya. Kalau katanya, mereka bisa melihat sebagian kota dari sana.

Kakeknya kemudian datang ke sana, membawa sebuah kardus. Beliau duduk di tengah-tengah ruangan, diikuti Arme dan Jenathan yang langsung duduk manis.

Beberapa benda kakek keluarkan dan disusun tepat di depan mereka bertiga. Benda-bendanya tersebut terlihat sangat asing di mata Arme, begitupun bagi Jenathan.

"Pertama, ada yang perlu saya sampaikan ke kamu, Jenathan. Menurut saya sudah saatnya kamu tau itu."

Jenathan mempersiapkan diri mendengarkan.

"Para leluhur Keluarga Eira dulu adalah orang yang menyegel makhluk itu di dalam kurungan, dan para penerusnya harus menjaganya agar tidak kabur. Dia pernah menjadi tanggung jawab kita, Nak," jelas Pria Tua.

"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Jenathan penasaran.

"Dulu saat ayah saya masih hidup, makhluk itu berhasil melarikan diri karena sepertinya ada yang memanggilnya menggunakan sebuah ritual terlarang."

"Zaman dulu tidak seperti sekarang, jadinya susah menangkapnya kembali. Dulu leluhur kita hanya bisa melumpuhkannya saja, tapi sekarang sudah ada benda yang bisa membunuhnya. Kamu masih menyimpan benda mirip belati itu, kan?"

Jenathan mengangguk mengiyakan.

"Nah, itu benda pembunuhnya," ujar Pria Tua enteng, "ayah saya yang membuatnya sendiri sebagai bentuk menembus kesalahannya karena membiarkan monster itu kabur, dari sana lah muncul niat untuk membunuhnya saja," jelas beliau lagi.

"Jangan tanya kenapa, kamu pasti mengerti kenapa benda itu saya serahkan."

Jenathan membungkam mulutnya, memang benar itu yang ingin ditanyakannya. Dia berusaha memikirkan jawabannya sendiri.

"Pasti karena aku satu angkatan dengan Vida, kan?" tebaknya. Kakeknya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.

"Sebentar, Anda juga curiga ke Kak Vida?" tanya Arme menyela.

"Bagaimana tidak? Dia kembali memunculkan diri dengan wujud yang masih muda seperti saat pertama kali saya bertemu dengannya," jawab Pria Tua.

"Anda yakin itu Kak Vida? Tidak salah, begitu?"

"Nama lengkapnya, Vida Jean Alaric, lahir pada empat belas Februari, dan status keluarga tidak diketahui. Apa saya salah?" Arme menggeleng pelan sebagai jawaban tidak, informasinya benar.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau terlihat sangat meragukan ucapan saya?" Kali ini giliran si Pria Tua bertanya.

"Dia pernah dekat dengan Vida, Kek. Sebelum kami saling kenal begini," sahut Jenathan bantu menjawab.

"Pantas saja," sahut balik Pria Tua.

"Tadi Anda bilang tentang sesuatu yang membuat si monster tertarik kepada saya. Kira-kira apa itu?" Arme kembali menanyakannya.

"Pertama, saya ingin melihat tandanya."

Arme sigap membuka sebagian baju dan berbalik membelakangi si kakek dan Jenathan. Pria tua itu menyentuh penanda di sana, telunjuknya mengikuti setiap garis ukiran.

At the Midnight [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang