BAB 20

71 13 0
                                    

"Madam, aku kembali dulu, ya," pamit Vida bersiap ke Alevia High School. Baju yang dipakainya hanya sebuah kemeja putih polos dan celana pensil hitam.

Bu Matilda dengan sepenuh hati mengantarkannya ke depan pintu rumah. "Kau tenang saja, ya. Cukup fokus belajar saja dulu," pesan beliau.

Vida mengangguk paham. "Aku mempercayaimu, Madam. Sampai jumpa," pamitnya lagi beranjak menjauh dari sana. Bu Matilda terus memperhatikan sampai sosoknya benar-benar sudah tidak terlihat lagi di jangkauan matanya.

Bu Matilda menghela napas lega. "Terkadang dia membuatku khawatir," gumam beliau kembali masuk ke dalam rumah besarnya.

****

Derap kakinya terdengar melangkah di lorong sekolah yang sudah mulai didatangi murid-murid lain. Vida membuka pintu ruangan OSIS yang ternyata tidak terkunci, rupanya sudah ada orang lain di sana.

Mereka saling bertatapan lumayan lama, tapi tidak ada yang mau berbicara lebih dulu, sampai akhirnya ketika orang tadi ingin pergi.

"Sejak kapan kau akrab dengan Arme?" sebuah pertanyaan langsung dilontarkan Vida kepada orang tadi.

Azura menatap wajah lawan bicaranya itu sekali lagi kemudian menjawab, "Tidak penting, kenapa bertanya?"

Pertanyaan dibalas pertanyaan, Vida mengacak-acak rambut belakangnya dengan ekspresi kesal. "Kau ini ... paham situasi, kan? Dia masih kelas sepuluh!"

"Memangnya kenapa kalau dia kelas sepuluh? Kalau dia sungguh-sungguh ingin melakukannya, artinya dia sendiri sudah memikirkannya matang-matang, kan?"

Vida diam tidak menjawab. Azura kembali melangkah menuju pintu, tapi sebelum benar-benar keluar, dia berhenti sejenak. "Setakut itu kah kau sampai merahasiakan semua pembicaraanmu dengan Kepala Sekolah? Setiap selesai pembahasan, pasti beliau selalu memanggilmu untuk bicara berduaan. Bagaimana bisa orang-orang tidak curiga? Apalagi posisiku di sini sebagai wakil."

Pintu tertutup meninggalkan Vida sendirian di dalam sana, bahunya melemas seketika, bahkan berkas yang baru saja ia ambil langsung jatuh ke lantai.

Tangan kirinya berkacak pinggang, sedangkan tangan kanannya memegangi jidatnya yang mulai terasa sakit. Ia buru-buru mengambil kembali kertasnya dan keluar juga dari sana.

****

Di kelas, Arme sibuk mengerjakan sesuatu di atas mejanya. Han kemudian datang menghampirinya, dia duduk tepat di sampingnya, dan sedikit menengok apa yang sedang temannya ini kerjakan.

"Aku kira kau sudah selesai lebih dulu," ujarnya sembari menyiapkan peralatan belajarnya.

"Aku sehabis pulang langsung pergi menginap di asrama temanku," sahut Arme fokus mengerjakan.

"Siapa? Ketiga anak OSIS laki-laki itu?"

Arme menggeleng pelan. "Bukan, dia hanya siswa biasa kok, meski sahabatnya anggota OSIS."

Han mengangguk kecil, ia kemudian terpikirkan sebuah topik pembicaraan baru yang mungkin akan menarik perhatian Arme. "Temanku yang kelas dua belas bilang ada suara-suara berisik begitu di luar asrama mereka. Grup chat mereka seketika ramai karena penasaran ada apa, tapi tidak ada yang berani keluar. Kira-kira apa yang terjadi?"

Arme meletakkan pulpennya, sepertinya dia mulai tertarik seperti dugaannya. "Aku rasa ... aku juga mendengarnya, tapi karena tidak terlalu peduli, aku mengabaikannya."

"Kau sangat tidak seru kalau diajak berpikir begini, Arme," keluh Han merebahkan kepalanya di tangannya yang sudah terlipat di atas meja.

"Hahaha. Maaf, ya," ujar Arme tertawa kecil.

"Tapi bagaimana kalau kita coba menebak pakai pemikiran masing-masing? Aku pribadi yakin pasti suara-suara itu karena monster!" seru Han kembali bersemangat lagi.

"Han. Sudah berapa kali aku bilang? Tidak ada yang namanya monster, ini dunia nyata!"

"Siapa tau, kan? Aku sangat yakin sih."

Arme lelah, susah menandingi orang yang memiliki kepercayaan yang sangat tinggi. Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di kepalanya, dan secara tidak sengaja ia melontarkan nya dari mulutnya.

"Han, kalau misal monster itu nyata seperti yang kau pikirkan. Apa yang akan kau lakukan?"

"Eh!? Apa-apaan ini?! Kau mulai berpikir monster itu nyata?! Astaga, benar-benar langka, Arme!" Han menjadi heboh sendiri mendengarnya, antara percaya atau tidak perasaannya saat ini.

"Jangan berlebihan," ketus Arme berdecak sebal.

"Hehe, maaf," kekeh Han, "habisnya aku senang karena akhirnya ada yang sepemikiran denganku. Selama ini aku merasa hanya aku sendiri yang menganggap monster itu nyata. Ingin cerita ke orang lain tapi takut mereka risih," jelasnya kemudian.

"Lalu, kenapa kau sering cerita kepadaku?"

Pertanyaannya membuat Han mengulas senyuman kecil. "Karena, saat kita pertama kali kenal dulu, kau bilang kalau aku boleh cerita apa pun terserahku, ditambah aku percaya kau pasti tidak akan membocorkannya ke siapa-siapa."

Dari lubuk hatinya, ingin sekali Arme mengatakan kalau sebenarnya dia sudah lama percaya dan tau tentang monster itu, bahkan melihatnya secara langsung tadi malam. Tapi ia tetap mengingat janji yang pernah ia sendiri buat ke Vida untuk tidak membocorkannya ke siapa pun tanpa izinnya.

Alhasil, semua itu hanya bisa ia pendam sedalam mungkin, jangan sampai muncul ke permukaan hingga menarik perhatian orang lain, apalagi tipikal yang seperti Han.

****

Sepulang sekolah, Arme mendapatkan pesan dari Jenathan untuk bertemu sebentar di kamar asramanya bersama Azura juga. Tanpa pikir panjang ia langsung pergi ke sana tanpa kembali ke asramanya sendiri lebih dulu.

Di tengah jalan Arme melihat keduanya ada di depan bangunan yang kemarin malam mereka pakai untuk bersembunyi dan menyembunyikan senjata.

"Kenapa kalian di sini?" tanya Arme kebingungan. Azura menggerakkan matanya agar adik kelasnya ini melihat sendiri apa yang terjadi.

Terlihat pintu bangunan itu ambruk seperti didobrak dari luar. Lebih parahnya lagi, bagian dalam bangunan berserakan, termasuk tempat tersembunyi mereka menyimpan senjata tadi malam, alhasil senjata-senjata di sana hilang entah ke mana.

Jenathan mengajak keduanya untuk pergi ke kamar asramanya saja agar lebih mudah bicara. Dia tidak ingin ada yang menguping pembicaraan rahasia ini.

"Tidak ada sidik jari ataupun jejak, sepertinya yang datang ini seorang profesional. CCTV yang ku pasang diam-diam tiba-tiba mati sendiri, saat kembali menyala sudah begini kondisi ruangan. Bahkan tidak ada hal mencurigakan sama sekali di video, aku sudah teliti memeriksanya," jelas Jenathan menunjukkan tablet nya yang berisi rekaman CCTV.

"CCTV mati sekitar jam 09.13 hingga 11.47, ketika semua orang berada di sekolah. Harusnya tidak ada yang diperbolehkan keluar di jam segitu, kecuali jika dia punya izin khusus." Pikir Azura menompang dagunya.

"Sudah memeriksa Ruang OSIS, belum?" tanya Arme.

Azura menggeleng. "Aku tidak menemukan apa pun di sana. Ditambah Vida ada di kelas seharian, kalau keluar pun palingan sekitar lima belas sampai dua puluh menit saja."

"Tidak mungkin suruhan, kan?" tanya Arme lagi.

"Untuk apa? Sebegitu tidak inginnya kah mereka mengakhiri penderitaan di sekolah ini? Memangnya mereka tidak mau merasakan ketenangan di malam hari?" Kali ini Jenathan yang menjawab pertanyaannya.

"Kita tidak akan pernah tau apa yang ada di pikiran orang-orang itu, Jenathan," sahut Azura melipat kedua tangannya seolah sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.

"Eh, iya. Apa senjata "itu" juga hilang, Jen?" tanyanya kemudian tiba-tiba.

"Aman. Syukurnya aku bawa kembali kemarin, bendanya sudah tersimpan, tenang saja," jelas Jenathan mengacungkan jempolnya.

"Senjata apa?" tanya Arme penasaran.

"Senjata khusus untuk membunuh monster itu," jawab Jenathan menyeringai kecil.

****

At the Midnight [END]✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora