Misteri masih Rahasia

3.5K 280 7
                                    

"Aku dengar kematian Bu Prisca bukanlah sebuah kecelakaan"

"Ya, aku rasa juga ada yang salah dengan kematiannya. Bagaimana bisa ia meninggal seperti itu?"

"Aku dengar Rene Fixlrein yang pertama menemukan mayatnya. Tidakkah jika ia yang menemukan terasa janggal? Mungkin saja ia pembunuhnya dan berpura-pura pingsan untuk membuat alibi?"

"Kau benar. Aku juga berpikir seperti itu. Cih, dasar gadis pembawa masalah"

Oh, bagus. Mereka mulai lagi. Sungguh aku merasa seperti idola jika mereka terus membicarakanku setiap hari. Ah, tapi biarlah. Mereka selalu membicarakanku di belakang adalah tanda bahwa aku jauh berada di depan mereka.

"Jangan dengarkan mereka" tiba-tiba suara berisik dari gadis-gadis di kelasku perlahan memudar dan berganti dengan alunan lagu klasik dari beethoven. Merasa nyaman, mataku terpejam. Aku mendengarkan musik itu dengan seksama. Suasana hatiku berubah seketika. Ah, aku merindukan suara ini. Entah aku merasakan sudah berabad-abad tidak merasakan ketentraman seperti ini. Baiklah, aku berlebihan.

"Jauh lebih baik. Kau terlihat lebih cantik" suaranya membuat mataku kembali terbuka. Iru menatapku dengan tatapan yang lembut. Suaranya pun menenangkan. Mungkin ia tidak ingin merusak ketenangan yang telah terlukis jelas di wajahku. Aku melepas salah satu headset--yang baru saja ia pasangkan--dari telingaku agar dapat mendengar suaranya lebih jelas.

"Aku lebih suka melihatmu tersenyum saat mendengarkan alunan musik klasik itu daripada kau yang terlihat sedih saat mendengarkan ocehan mereka" ia tersenyum manis-yang entah mengapa membuat wajahku menghangat.

"Aku tidak sedih. Mereka membicarakanku di belakangku adalah tanda bahwa aku berada di depan mereka, Iru."

"Ya, ya. Baiklah, Rene. Terserah. Pipimu bersemu merah. Apa kau demam?" tangan Iru yang perlahan bergerak menyentuh dahiku. Aku merasakan wajahku semakin panas.

"IRUUU!!!!!!!" tiba-tiba suara menggelegar menyebut nama Iru membuat seisi kelas menoleh kepadanya. Kaneshima Hansei menggebrak mejanya dan berlari menuju Iru. Dengan cepat aku membenarkan posisi dudukku. Sekilas aku menatap wajah Iru, wajahnya menjadi kusut tanda tidak suka. Ya, siapapun mungkin akan merasa kesal saat mendengar namanya disebut oleh seorang otaku yang hendak menculiknya.

"Kau harus ikut denganku sekarang juga! Aku menemukan sebuah spot yang bagus kemarin!" ia berlari menghampiri Iru dan menarik tangannya pergi. Dengan malas Iru terpaksa mengikutinya.

"Kembalikan ia sebelum bel pulang" aku sedikit berteriak pada Hansei sebelum ia keluar kelas. Hansei menghentikan langkahnya dan memberiku tatapan sinis. Cih. apa-apaan dia. Apa ia masih menganggapku seperti Jennifer?

"Kau belum mengatakan alasan Hansei selalu membawa Iru pergi akhir-akhir ini, Rene" Nessa berkacak pinggang di hadapanku. Bibirnya mengerucut.

"Hm? Bukankah tempo hari aku sudah menjelaskannya padamu?"

"Kau memotong pertanyaanku dan mengancam akan mengikatku di rel kereta api. Kau memang sungguh jahat, Rene!"

"Oh, iya kau benar. Jadi ceritanya-" belum selesai aku berbicara tiba-tiba pintu terbuka. Seorang laki-laki berkacamata berumur sekitar 45-an masuk ke kelas. Dia adalah Pak Richard. Wali kelas kami. Segera Nessa kembali ke tempat duduknya. Aku sempat melihatnya kesal. Mungkin karena ia tak mendapat penjelasan yang diinginkannya-lagi.

"Selamat siang, anak-anak. Aku tahu suasana sekolah masih sedang berduka setelah kematian Bu Prisca dua hari lalu. Namun itu tidak berarti kita harus larut dalam kesedihan yang mendalam. Maka dari itu aku akan mengumumkan sebuah kabar gembira bagi kalian"

MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang