Part 15 : Kencan di Rumah

301 51 3
                                    

Gilang tersenyum saat melihat Aiden tertidur dengan kepala yang berada di atas pangkuan Riana. Ia mengulurkan tangan melewati sang kekasih agar bisa mengelus kepala bocah itu. "Anggap aja ini latihan kalo nanti kita punya anak ya," ujar Gilang pada Riana yang masih bersandar di bahunya.

"Apa sih!" kilah Riana malu-malu. "Aku baru ingat deh. Waktu itu kamu ada minta photo pas kita di sekolah Aiden 'kan? Bagus nggak photonya?"

"Bagus kok." Gilang meraih ponsel kemudian memperlihatkan photo mereka tersebut pada Riana. "Kita udah kayak keluarga kecil yang harmonis ya 'kan?" tanya Gilang yang Riana balas anggukkan kepala.

"Tapi semakin dilihat terus, kamu dan Aiden itu makin keliatan miripnya," gumam Riana. Perasaannya tak bisa bohong kalau hatinya sudah berlabuh pada Gilang. Tapi bagaimana kalau nanti lelaki itu terbukti memang benar ayahnya Aiden? Apa yang harus ia lakukan?

"Aku nggak tau gimana caranya ngejelasin ke kamu, Riana. Tapi aku emang beneran nggak ngerasa pernah ngapa-ngapain sama kakak kamu. Aku berani sumpah demi nama Tuhan."

"Kamu udah cari tau kalo kamu bener-bener nggak punya kembaran?"

"Aku udah pernah nanya ke papa aku. Beliau bilang kalo aku anak satu-satunya, tapi aku ngerasa ada yang sengaja papa sembunyiin. Karena setelah papa bilang kayak gitu, beliau langsung matiin sambungan telpon," jelasnya.

"Semoga aja kamu beneran punya kembaran. Soalnya aku nggak tahu harus ngelakuin apa kalo misalkan kamu terbukti papanya Aiden."

"Iya, Sayang. Nanti pas ada job ke Surabaya aku mau sekalian pulang. Biar bisa bertanya langsung ke papa. Kamu mau ikut nggak?"

"Kapan-kapan aja deh. Aku masih belum siap buat ketemu papa kamu. Aku takut kalo kita langsung dinikahin. Soalnya kamu udah tua," cibir Riana sengaja.

"Bukan tua, tapi matang. Lagian usiaku baru dua tujuh tahun ini kok," sangkal Gilang tidak terima. Menurutnya, usianya yang sekarang belum bisa dikatakan tua, melainkan dewasa. Lagi pula, Riana bukanlah gadis SMA berusia belasan tahun. Melainkan sudah berusia dua puluh tahun. Berbeda tujuh tahun seharusnya bukan masalah. Toh di luar sana ada banyak pasangan dengan beda umur jauh di atasnya.

"Whatever!"

"Nggak papa deh dibilang tua. Asalkan kamu suka," tukas Gilang sembari memeluk Riana dari samping. Ia beri kecupan singkat di pipi gadisnya itu. Hanya sekadar kecupan lembut sebagai ungkapan rasa sayangnya.

"Emang iya?"

"Hmn."

"Papa kamu di Surabaya? Kalo Mama?" ujar Riana bertanya sebab merasa penasaran.

"Papa sama Mama udah pisah pas aku masih kecil. Papa bilang, waktu itu Mama selingkuh. Makanya Papa nggak pernah mau bahas soal Mama. Jadinya aku pun nggak tau Mama ada di mana sekarang."

"Maaf, aku nggak tau."

"Nggak apa-apa kok."

Kruk kruk kruk.

Riana dan Gilang saling tatap saat terdengar suara perut keroncongan. Riana yang sadar kalau bunyi itu berasal dari perutnya hanya bisa menyengir malu. Ia merasa lapar sebab dari pagi belum makan. Pun, sekarang sudah hampir waktunya makan siang.

"Kamu belum makan dari pagi?" tanya Gilang yang Riana balas dengan anggukkan kepala. "Kenapa nggak bilang? Nanti kamu maag loh kalo sering telat makan kayak gini," tambah Gilang yang terselip kekhawatiran dari kata yang diucapkannya itu.

"Soalnya tadi masih belum lapar. Aku pesan gofood dulu deh. Kamu jangan marah terus," ujar Riana bermaksud meraih ponsel untuk memesan makanan online. Tetapi ponselnya itu langsung direbut oleh Gilang.

One & OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang