32. The Beginning of The End

6.9K 853 183
                                    


Restoran kecil itu memiliki parkiran lumayan luas dengan pepohonan besar teduh yang menaunginya. Jakarta yang sudah memasuki musim penghujan dan pukul setengah empat sore, langit sudah mendung rapat. 

Rangga tidak pernah tahu soal keberadaan restoran ini sebelumnya, dia hanya mengetikkan romantic restaurant near me di Google Maps dan di urutan pencarian teratas ada nama restoran ini. 

Namanya Tallu Selantun. Luas bangunannya jauh lebih kecil daripada tanahnya, dan karena suasana sudah gelap meski belum terlalu sore, semua lampu sudah dinyalakan. Cahaya kuning berpendar hangat mengundang. Dari luar, Tallu Selantun seperti sekotak rumah peri di antara hutan belantara. 

Itu pun kalau ada hutan belantara yang tanahnya tertutup paving block, tentu saja.

Rangga sudah duluan memesan es teh leci dan tahu pong dengan acar lobak dan sambal petis sambil mengedarkan pandang ke sekelilingnya, dan sesekali melihat ke arah parkiran. Menunggu seseorang datang.

Selain suasananya, tidak ada yang romantis dari restoran ini. Pengunjungnya lebih banyak keluarga muda atau anak-anak sekolah yang mencari tempat untuk mengerjakan tugas. Dari buku menu yang masih ada di meja, Tallu Selantun lebih banyak menyediakan masakan berat khas Karesidenan Semarang--nasi gandul, sop ayam kampung, asem-asem iga, mie nyemek--dan cemilan yang senada, tempe mendoan, tahu petis, singkong goreng.

Rangga menghela napas dan mulai membuka ponselnya. Yang pertama dibuka Candy Crush, tapi nyawanya sudah habis dan baru 17 menit lagi dapat nyawa baru. Ketika masih baru main dulu, Rangga selalu memanipulasi jam di ponselnya kalau nyawanya sudah habis, tapi seiring beranjaknya umur, Rangga pasrah saja.

Setelah dia menutup Candy Crush, baru Rangga membuka aplikasi Hay Day. Suara banjo tergenjreng saat aplikasi dibuka, dan ladang virtual Rangga terlihat penuh dengan buah stoberi yang sudah matang. Malas memegangi ponsel, Rangga lalu meletakkan ponselnya di meja sebelum mulai memanen stroberi lalu menjualnya sebagian, sebelum kembali menanami ladangnya dengan jagung dan mulai mengumpulkan telur dari kandang ayam.

"Itu sapinya juga jangan lupa diperah."

Komentar itu disertai dengan suara kursi di depannya yang ditarik. 

Sontak, Rangga menutup aplikasinya dan berdiri menyambut Gaza yang rupanya tanpa disadari sudah datang.  

"Bang, apa kabar..." kata Rangga nyengir lebar, sambil mengulurkan tangan.

Gaza menatap tangan Rangga yang terulur. 

Dan tanpa di sangka-sangka, Gaza memutari meja kecil itu untuk menggenggam tangan Rangga, lalu menarik Rangga ke dalam rangkulannya. Rangga agak tertegun sejenak, karena tak bisanya Gaza bersikap seakrab itu padanya.

"Baik, Ga. Kamu gimana, sehat?" Gaza balik bertanya sembari melepaskan pelukannya. Gaza lalu duduk di kursi, melepas jaketnya dan melipatnya di pangkuan. "Sori agak lama," kata Gaza.

Mata Rangga melirik ke arah parkiran dan menyadari tidak ada mobil Gaza terparkir di sana, dan melihat Gaza mengenakan jaket, Rangga mengambil kesimpulan kalau Gaza ke sini pakai motor.

"Tadi dari mana emang, Bang? Pas aku telepon rame banget kayaknya," Rangga bertanya.

"Lagi di toko tadi, di Gunung Sahari aja sih deket sini. Milihnya sebentar tapi pas deal-dealannya yang lama."

"Beli apa sih, Bang, mana barangnya? Kok masuk nggak bawa apa-apa?" Rangga memajangkan leher berusaha melihat ke samping kiri dan kanan Gaza.

"Baru pesan tadi, jadi tiga hari lagi," kata Gaza. Dia mengambil satu tahu pong dari piring dan mencelupkannya ke sambal kecap sebelum mengunyahnya. "Sebenernya kamu ngajak ketemu buru-buru ada apa? Tadi urgent banget di telepon, sekarang malah kayak selow banget nanya belanjaan segala...."

Love SickWhere stories live. Discover now