28. Heartfelt Plea

6.1K 770 56
                                    

Nina berdiri di trotoar sementara Gaza sudah duduk di motornya, memakai helm. Nina memperhatikan Gaza yang kini sedang menstarter motor, lalu lelaki itu mengangsurkan helm yang tadinya dicantol di motor.

Nina hanya menatap helm yang diberikan Gaza, sebelum kembali menatap Gaza.

"Apa?" tanya Gaza. "Kok diam saja?"

Nina tak menjawab. 

Membonceng motor membutuhkan kedekatan fisik tertentu, yang sebenarnya tidak terlalu Nina permasalahkan kalau pengendaranya abang ojek. Malah, dalam keadaan tertentu, ojek merupakan pilihan kendaraan favoritnya.

Jarak dari sini ke rumah tantenya tidak terlalu jauh dan melewati jalan-jalan dengan lalu lintas yang lumayan padat. Motor sebenarnya pilihan paling masuk akal untuk perjalanan yang cepat dan efisien.

Nina berusaha keras menepiskan kecanggungan yang mendadak dia rasakan. Perasaan geer, bahwa Gaza menjemputnya ke sini, dan mengajaknya naik motor, merupakan usaha Gaza agar mereka bisa dekat lagi, baik secara fisik maupun emosional. Karena dulu waktu mereka pacaran, mereka lebih sering naik motor Gaza daripada menggunakan mobil Nina.

Padahal kemarin Gaza juga menjemputnya ke apartemen Hendra naik motor. Nina juga sudah menawari Gaza untuk naik motor saja. Kemarin itu Gaza menolak karena dia menilai tubuh Nina terlalu capek dan tidak cukup fit. 

Tapi sekarang giliran Gaza mengajaknya naik motor, Nina malah merasa melankolis sendiri. Kan apa namanya kalau bukan konyol dan cari penyakit...

Lagi pula ini kan cuma pilihan kendaraan, it's never that deep.

Jadi setelah terpekur di trotoar cukup lama, Nina akhirnya mengambil helm dari tangan Gaza dan mengenakannya di kepala. 

Busa bagian dalamnya tercium wangi dan bersih. 

Sementara Nina sedang memasang kaitan di tali dagu, Gaza menurunkan kedua footstep agar Nina bisa menaruh kaki dengan mudah.

Lagi-lagi, Nina terdiam.

"Dulu sering banget di kantor aku diledekin karena footstep-ku nggak pernah turun.... sayang banget sekarang footstep-ku selalu turun aku malah udah keluar dari kantor."

Nina ingat kelakar Gaza kala itu. Dulu, Gaza merupakan satu-satunya pegawai yang masih single--tidak punya pacar apalagi istri--sementara kebanyakan temannya sudah punya 2-3 anak atau minimal sudah menetapkan tanggal pernikahan. 

Kelakar itu diucapkan sambil lalu dan Nina yakin Gaza juga lupa pernah mengatakannya.

Nina naik ke jok belakang, dan setelah Gaza memastikan Nina sudah duduk dengan aman, lelaki itu mulai menjalankan motornya.

Beberapa menit berjalan, Gaza menoleh sedikit untuk bicara pada Nina.

"Tangan kamu masukkin aja ke kantung jaketku, biar nggak terlalu kena matahari," kata Gaza dengan sedikit agak keras, melawan suara deru motor dan suara angin.

Nina memajukan kepalanya untuk balik bertanya, "Hah?" Suara Nina tak kalah kerasnya.

"Tangan kamuuu.... masukkin ke kantung jaketkuuuu...."

Kali ini Gaza tidak cukup bicara. Tangan kirinya melepaskan setang motor dan meraba ke belakang untuk mengambil tangan kiri Nina, dan memasukkan tangan itu ke kantung jaketnya. 

Setelah itu, tanpa menunggu Gaza membantunya, Nina juga memasukkan tangan kanannya ke kantung jaket Gaza.

Gaza tak bicara lagi, tapi dia mengacungkan jempolnya sebelum kembali memegang setang motor.

Dengan posisi seperti ini, mereka jadi lebih dekat, bagian depan tubuh Nina hanya berjarak sesenti dari punggung Gaza. Dan kalau Nina mau, dia bisa menumpukan dagunya ke bahu Gaza.  

Love SickWhere stories live. Discover now