25. To Forge Ahead

6.5K 778 87
                                    

Pukul delapan malam, pintu kamar Nina diketuk saat dia sedang selonjoran di kasurnya, menatap Aisha yang sedang terlelap di sisinya.

Nina turun dari kasur dan ketika membuka pintu kamar, Mula sudah berdiri di hadapannya.

Aroma lembut krim dan serum wajah tercium dari wanita itu, mengingatkan Nina dia sendiri bahkan belum sempat mencuci muka secara seksama sejak kemarin.

"Aisha sudah tidur?" tanya Mula dengan nada berbisik, melirik ke arah ranjang Nina. Nina ikut melihat ke arah yang sama. Di sana, Aisha sedang meringkuk tak bergerak, memunggungi mereka. "Tumben masih pakai baju main, nggak kamu gantiin pakai piama?" tanya Mula, menatap kembali ke arah Nina

Nina menggeleng. "Barusan ketiduran, lagi main terus tiba-tiba nggak ada suaranya, kulihat udah tidur... nanti deh kalau dia kebangun aku gantiin bajunya," jawab Nina.

Mula menghela napas dan menatap Nina. "Kamu sendiri gimana... sudah ngantuk?"

Nina menggeleng. "Belum Tante, kenapa?"

"Turun ke bawah deh, Tante mau ngobrol."

***

Sudah ada dua cangkir susu hangat berempah di meja ruang tengah saat Nina duduk di sofa ruang tengah bersama Mula. 

Nina menyadari Mula yang sudah menyiapkannya, dan Nina selalu merasakan perasaan trauma yang aneh; saat lawan bicaranya terasa seperti sudah mempersiapkan segala sesuatunya sementara dia tidak tak tahu apa-apa.

Tapi Nina berusaha menekan perasaan itu. Ini tantenya, keluarganya, dan meskipun keluarga bisa saling menjahati, tapi kalau Tante Mula mau, dia sudah melakukannya sejak dulu.

"Jam berapa tadi Gaza pulang?" tanya Mula setelah mereka berdua duduk di sofa. Mula langsung mengangkat cangkir dan menyesap susu rempahnya, sementara Nina memeluk bantal sofa sambil bersandar ke sofa empuk.

"Sekitar jam setengah lima sore."

"Betah juga dia. Sampai main basket segala di bawah sama Rayhan, delivery mie yamin Bandung pula buat orang serumah... kata Rayhan, Mami ama Papi aja yang nggak dibeliin karena belum pulang."

Nina hanya menarik-narik benang dari bantal sofa yang ada di pangkuannya. Rayhan adalah anak bungsu Mula, baru kelas 8 dan yang paling mudah terpesona dibanding kakak-kakaknya. Perjumpaannya dengan Gaza mungkin lumayan membekas pada Rayhan karena dia langsung menceritakannya pada Mula.

"Bilangin Gaza, kalau Om sama Tante sih sukanya mie ayam, barangkali kapan-kapan mau beliin juga..."

Nina mengangkat wajahnya dan menatap tantenya, memastikan apakah Mula sedang menggodanya. Tapi wajah Mula terlihat serius.... jadi Nina membalas pelan, "Oke, nanti aku bilangin."

"Jadi gimana kabar Hendra?" tanya Mula lagi. "Masih menyedihkan kayak biasa?"

Nina hanya meringis mendengar deskripsi soal Hendra itu.

Ucapan Mula kadang terlalu blakblakan, bahkan meski bukan ditujukan pada Nina, Nina sering merasa ngeri sendiri.

Tapi ucapan Mula juga tidak terlalu meleset. Hendra memang menyedihkan. Bahkan saat dia menitipkan Aisha karena 'hidup terlalu berat' atau 'terlalu menakutkan', Nina sudah merasakan hal yang sama soal Hendra.

Kamu tak seharusnya meninggalkan orang yang bergantung padamu hanya karena kepala kamu pusing 24 jam seminggu. Kamu tidak seharusnya menitipkan anakmu pada sepupumu hanya karena kalian punya musuh bersama... yaitu kakek kalian.

Tapi pada akhirnya, Nina merasa akan hatinya akan lebih tenang kalau dia memikirkan kepentingan Aisha di atas kelakuan Hendra. Soal titip menitip anak pun bukan hal yang janggal di keluarga besar mereka. Waktu Nina kecil dulu, dia sempat diasuh ibunya Hendra yang waktu itu baru lulus kuliah, lalu dia diasuh bergilir oleh saudaranya yang lain, bahkan oleh keluarganya Rindang, juga keluarga Tante Mula dan Tante Gyan.

Love SickWhere stories live. Discover now