Bab 23

14.6K 938 49
                                    

Angkasa beberapa kali meniup tangannya agar terasa hangat. Mantel tebal yang ia pakai nyatanya tak mampu menghalau udara dingin yang menusuk kulitnya.

Kondisi badannya memang kurang fit. Kurang istirahat dan mengkonsumsi alkohol beberapa hari yang lalu memperparah kondisi tubuhnya. Ditambah lagi gerimis yang menyapa bumi sejak tadi pagi yang sampai saat ini tak kunjung mereda- membuat hawa dingin semakin menggigit di kulit Angkasa.

Puluhan kali Angkasa mengecek jarum jam yang melingkar di tangannya. Sejak dua jam yang lalu ia duduk seorang diri di teras rumah Rainy untuk menunggu kepulangan perempuan itu.

Sudah pukul 10 malam. Terlalu larut bagi seorang perempuan untuk pulang bekerja sampai malam seperti ini. Hati Angkasa menjadi tidak tenang.

Angkasa mengambil ponselnya dari saku jaket. Ia ingin mendial nomer Rainy yang sudah lama ia simpan namun ia tidak mempunyai nyali. Jari-jarinya tidak sanggup menuliskan pesan atau sekedar memencet logo telepon untuk mengetahui kabar perempuan itu.

"Menyebalkan" Gerutu Angakasa lirih, memaki dirinya sendiri yang pengecut. Kali ini hatinya sungguh kuatir.

Angaksa berpikir, apa perlu ia membeli kantor Rainy agar perempuan itu tidak lembur lagi? Tapi jika Rainy sampai tahu, bisa-bisa perempuan itu semakin meradang kepada dirinya.

Angkasa menggeleng kecil. "Tidak-tidak" Menolak ide konyolnya yang sepintas lewat di dalam otaknya tadi.

Tawa renyah seseorang membuyarkan lamunan Angkasa. Ia sontak berdiri meninggalkan duduknya kala melihat Rainy berjalan ke arah rumahnya.

Rainy tidak sendiri. Ia bersama seorang pria yang Angkasa tahu bernama Sadewa. Pria yang menyelamatkan Rainy dari terkaman karyawannya sendiri.

"Rain" Sapa Angkasa mengulas segaris senyum. Jangan tanya hatinya. Pasti remuk redam melihat Rainy mampu berbagi tawa dengan Sadewa. Berbeda dengan Angkasa, laki-laki tak mampu membuat Riany tertawa. Ia hanya bisa menorehkan luka kepada perempuan yang tengah berdiri di depannya.

"Mau apa kamu kemari?" Ucapan menohok itu bukan keluar dari mulut Rainy, melainkan keluar dari mulut Sadewa. Sadewa pasang badan. Menarik tangan Rainy untuk berlindung di belakangnya.

Angaksa menghela nafas perlahan. Menekan rasa jengkelnya dan amarahnya agar tidak meledak. Ia tidak suka ketika ada orang yang ikut campur kedalam masalahnya dengan Rainy.

Mengacuhkan Sadewa, Angkasa menerangkan maksud kedatangannya "Aku bawain kue kesukaan kamu Rain. Ini buat kamu" Angkasa mengambil paper bag yang semula ia letakkan di atas meja teras lalu ia serahkan kepada Rainy.

Angkasa masih ingat kue kesukaan Rainy. Ia mengingat moment saat mereka masih bersama dulu. Duduk di balkon apartemen dengan dua cangkir teh.

"Aku suka banget sama kue lapis legit mas.... Dalam sekali makan aku bisa habis sepuluh potong lho. Tapi sekarang aku ga boleh makan sebanyak itu lagi. Kalau lagi pengen banget paling banyak aku akan makan dua potong. Mas tau ga apa alasannya?"

"Apa?" Celotehan panjang Rainy kala itu hanya dibalas satu kata singkat oleh Angkasa.

"Roti lapis legit itu banyak mengandung gula dan lemaknya mas. Kalori satu potong kue aja setara makan satu piring nasi. Banyangin aja kalau aku makan 10 potong. Sama aja aku makan 10 piring nasi dong. Ntar aku jadi gendut dan mas ga bakal cinta lagi sama aku"

Andaikan dulu ia tidak dibutakan oleh dendam. Mungkin saat ini, ia dan Rainy masih bersama. Mendengarkan celotehan perempuan itu yang selalu saja punya bahan untuk diceritakan. Rainy perempuan yang periang dan ceria. Ia bisa melengkapi Angkasa yang kaku, yang lebih senang menjadi seorang pendengar.

Angkasa Membenci Hujan (END)Where stories live. Discover now