Bab 12

16K 969 17
                                    

Rainy mengusap-usap rambutnya yang basah dengan menggunakan handuk. Butuh waktu satu jam untuk dirinya membersihkan diri dari kotoran yang menempel di tubuhnya.

Satu botol sampo milik Sadewa rasanya belum cukup untuk menghilangkan bau amis yang masih menempel. Wangi sampo anti ketombe itu masih kalah dengan bau amis yang menguar dari rambut Rainy yang panjang.

Setelah insiden yang terjadi di Clover, Sadewa memilih membawa Rainy ke rumahnya. Ia tidak ingin Rainy pulang dalam keadaan berantakan.

Awalnya nenek Sadewa begitu terkejut ketika cucu laki-lakinya membawa seorang perempuan dalam keadaan kacau.

Nenek Sadewa hanya terdiam. Dia tidak bertanya dan memprotes ketika Sadewa membawa Rainy ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Apakah nenek masih punya semangkuk sup?" Sadewa nampak membuka-buka pintu almari kichen set. Pria itu mengabsen setiap almari untuk memeriksa apakah ada makanan yang masih tersisa.

"Tidak kah kamu lebih kuatir dengan nenek? Kamu hampir membuat nenek jantungan karena membawa perempuan larut malam begini" Nenek Mariam mengomel kepada Sadewa sambil mengambilkan sup yang masih ia simpan di dalam almari pendingin.

"Aku akan ceritakan nanti nek. Ceritanya panjang" Sadewa mengambil alih mangkok sup di tangan nenek untuk dipanaskan.

"Kenapa kamu menunda untuk bercerita? Kamu yakin, nenek masih diberi umur untuk mendengarkan ceritamu yang panjang itu?" Ucapan nenek Mariam menandakan kalau beliau tidak sabar mendengarkan cerita dari Sadewa.

Sadewa berdecak "Ck.." dirinya paling tidak suka jika neneknya membahas soal umur apalagi kematian. "Apakah nenek lupa? Nenek pernah berkata tidak akan pergi meninggalkanku sampai aku memberikan cicit untuk nenek?"

"Karena itu kamu tidak ingin cepat-capat menikah. Tidak ingin melihat nenekmu ini cepat mati?"

"Tentu saja. Itu alasanku tidak ingin buru-buru menikah" Nenek Mariam mengplak kepala Sadewa yang tengah duduk di kursi makan.

'Sakit Marimar!' Sadewa berteriak. Tentunya di dalam hati. Dia tidak mungkin meneriaki neneknya jika tidak ingin dikeplak untuk yang ke dua kalinya.

Sadewa hanya mengusap-usap kepalanya yang nyeri- bekas keplakan sang nenek. Perempuan tua itu ternyata masih memiliki tenaga kuda untuk menganiaya Sadewa.

"Dasar durhaka. Aku sudah tua. Sudah bungkuk. Usiaku sudah 83 tahun. Apa kamu tidak berempati kalau nenekmu sudah setua ini. Nenek juga ingin beristirahat dengan tenang"

Rainy yang baru saja keluar dari kamar mandi membuat debat antar cucu dan nenek itu seketika berhenti.

Cepat-cepat Sadewa menghampiri Rainy lalu mendorong pundak perempuan itu dengan kedua tangan Sadewa- untuk duduk di kursi makan.

"Ayo Rain, kita makan malam dulu" Sadewa meletakkan satu mangkok sup ayam dengan sayur di hadapan Rainy.

"Terimakasih" Ucap Rainy. Rainy melihat ke arah nenek dan Sadewa. Meja di hadapan mereka kosong. Hanya meja Rainy saja yang terdapat sup dan secangkir teh hangat.

"Apa kamu dan nenek tidak ikut makan?" Tanyanya lirih karena sungkan.

"Kami sudah makan Rain. Tenang saja. Iya kan nek?" Sadewa meminta persetujuan sang nenek untuk memebenarkan ucapannya. Kepala laki-laki muda itu bahkan sampai menoleh menghadap sang nenek.

"Nenek belum makan" Ucap nenek Maryam membuat Rainy tidak enak hati karena satu mangkok sup itu diberikan hanya untuk Rainy.

"Itu karena nenek terkena diabetes. Jadi nenek harus menjaga pola makan agar bisa hidup selama-lamanya" Sambar Sadewa cepat.

Angkasa Membenci Hujan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang