6. Menerima segalanya

41 15 0
                                    

"Binta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Binta." panggilan Bama menyita perhatian Binta, yang matanya masih termenung menatap punggung Fara, padahal wanita itu sudah melenggang pergi menjauhinya.

Binta yang di panggil pun langsung menghampiri menuju ke salah satu meja di sudut kantin yang Bama tempati.

"Pak Baskara udah selesai makannya?" tanya Bama tepat saat Binta duduk di depannya.

"Udah, kak. Aku kesini mau panggil Nenek Fara, soalnya dokter mau bicara."

"Oh, mama baru aja pergi kamu papasan juga kan?"

"Ah, iya. Barusan papasan, Kak. Aku boleh tanya sesuatu?"

"Apa?" Bama mematikan rokok yang sudah setengah batang ia hisap, kini ia fokus tertuju pada Binta.

"Tadi pas aku mau ke kantin, aku papasan dan panggil mamanya kak Bama dengan sebutan Nenek. Terus raut wajah mamanya kak Bama kaya cemberut dan suruh aku panggilnya Tante aja, karena umurnya hampir seumuran sama mama aku katanya. Emang aku salah kalo panggil nenek?"

Bama mengetuk dagunya, bagaimanapun mama nya memang masih terbilang tidak terlalu tua-tua banget sehingga tidak perlu memanggilnya nenek.

"Sejujurnya nggak salah. Cuma ya, ada benarnya juga supaya tidak menimbulkan banyak pertanyaan pada orang-orang, kamu lebih baik panggil mama aku Tante."

Binta menggigit bibir bawahnya, Berarti mulai sekarang ia harus mengingat terus agar memanggil Fara dengan sebutan tante.

"Udah nggak perlu di pikirin, kalau emang kamu merasa sikap mama aku dingin dan agak jutek sedikit itu emang udah bawaan dari lahir."

Ada sedikit tawa tercipta saat Bama membicarakan mamanya sendiri.

"Iya, kak. Ehmm.. ada satu hal lagi yang pengen aku tanyain."

"Boleh. Pasti tetang kepindahan kamu ke rumah pak Baskara, maaf sepertinya harus di undur? Mama aku butuh waktu menjelaskan semuanya ke adik-adik."

"Bukan...bukan soal itu. Lagi pula saat ini aku juga lebih nyaman tinggal sendiri, pokonya sementara waktu sampai kakek Baskara di rawat di rumah sakit. aku juga nggak keberatan tetap tinggal di rumah yang sekarang aku tinggali."

Binta memberikan sedikit jeda sebelum melanjutkan pertanyaan, ia tidak mau salah berbicara sehingga ia harus merangkai kata yang tidak menyinggung pihak manapun.

"Begini, Bunda aku sakit Alzaimer dan sesekali yang dia ingat adalah kenangan tentang kakek di masa lampau, setiap kali aku bahas soal kakek, ayahku pasti hanya diam. Padahal aku harap Bunda bisa bertemu dengan kakek. Kalau memang dari pihak keluargaku tidak mau bertemu kalian. Apa kalian dulu tidak pernah sekalipun mencoba memaksa mempertemukan kakek Baskara dengan keluarga aku?"

Kedua tangan Bama ia tautkan, ia juga mengerjapkan mata dua kali. Tebakannya benar, Binta pasti akan terus penasaran mengulik apa yang sebenarnya terjadi, maka itu Bama pun sudah jauh-jauh hari mempersiapkan jawaban yang memang berat sekali untuk di utarakan.

"Saat itu umur aku masih tujuh belas tahun, masih belum bisa terlalu ikut campur dengan segala masalah yang terjadi, mama aku juga masih dalam masa trauma ditambah depresi karena masalah yang kita alami, bahkan mama sampai harus di rawat di poli kejiwaan. keadaan yang sangat tidak stabil itu membuat kami semua benar-benar acuh dan sama sekali tidak memperdulikan hubungan antara mama kamu dan kakek kamu."

"Jadi intinya kalian sama sekali tidak berusaha menyatukan kembali hubungan Bunda aku dan kakek aku?"

"Bisa di bilang seperti itu. Terlebih Pak Baskara juga selalu bilang kalau semua akan baik-baik saja. Sampai pada akhirnya aku mengerti dan memahaminya bahwa kata baik-baik saja yang keluar dari mulut pak Baskara itu hanya sekedar kata penenang yang ia berikan pada kita semua."

Ada sedikit jeda tarikan napas gusar yang Bama hembuskan.
"Di depan kita semua, pak Baskara selalu bersikap denial, walau sejujurnya dia sangat amat merindukan bertemu dan berkumpul bersama anak, cucu dan menantunya. Untuk itu seperti yang aku jelaskan di kafe tadi, aku ingin menebus segala kesalahan yang telah keluargaku buat. Meski terlambat setidaknya kamu dan kakek kamu bisa berkumpul kembali."

Penjelasan Bama cukup masuk akal kali ini, Binta hanya bisa menerima apa yang terjadi adalah bagian masa lalu yang tidak bisa di ubah, maka itu berlapang dada adalah hal yang wajib ia tanamkan pada dirinya. Setidaknya di musibah yang menimpa ya kali ini tuhan masih baik mempertemukan dirinya dengan Bama sehingga bisa membantu agar dirinya bangkit dari keterpurukan.

"Iya, bukannya aku udah bilang ke kamu di kafe tadi ya, mama aku berulang kali mencoba bunuh diri. Dan pak Baskara menggagalkan semua rencana bunuh diri itu dengan berjanji akan menikahi mamaku."

"Emang Iya? Kayanya aku kurang menyimak, kak."

"Ya Udahlah ya, jangan bahas masa lalu terus. Kayanya nggak akan habis buat di bahas juga. Yang jelas kamu sekarang nggak cuma punya ayah kamu, kamu punya kakek, ada aku juga jadi kalau ada apa-apa kita semua akan jadi garda terdepan untuk melindungi dan bela kamu."

"Haduh, terharu aku jadi pengen nangis." ledek Binta pura-pura bersedih. Tangannya menyeka pipi yang padahal tidak ada air mata sedikitpun menetes.

"Nangis terus nggak capek apa, mending makan." belum sempat Binta membalas ledekan Bama, Bama mengangkat tangannya memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan. "Kita makan dulu ya. Habis makan kita ke mall, beli beberapa kebutuhan buat ayah kamu dan juga kebutuhan kamu buat di rumah sama kebutuhan sekolah nanti."

"Hah? Sekolah?"

Sekolah? Senyum yang mengembang seketika berganti jadi cemberut, Apa mungkin Binta bisa kembali sekolah dengan tenang seperti dulu, Sementara teman-temannya pasti akan terus mengolok-oloknya sebagai anak seorang koruptor.

"Kenapa ada masalah? Kamu udah lama nggak masuk sekolah beberapa hari ini, pasti banyak ketinggalan pelajaran."

Binta memasang wajah tanpa ekspresi. "Iya, itu udah pasti. Tapi Kak Bama, boleh nggak kalo aku minta agar pindah sekolah?"

Bama berdehem sebelum menjawab. "Kamu udah kelas dua belas kan? Sebentar lagi lulus, kenapa harus pindah?"

Binta berpikir sejenak, jika di hitung dari skema pembelajaran, memang beberapa bulan lagi kelulusan akan di depan mata. Tapi dalam satu bulan itu maksimal nya tiga puluh satu hari, bagaimana mungkin Binta bisa tahan kalau di sekolah ia tidak memiliki teman dan terus di intimidasi.

"Aku cuma takut kalau teman-teman aku-"

Satu tangan Bama memegang punggung tangan Binta. Tanpa mendengar penjelasannya, Ia sedikit paham akan perasaan Binta.

"Kamu bilang Ayah kamu tidak salah, kalau kamu pindah sekolah sama saja membenarkan apa yang orang-orang katakan. Setelah kamu pindah sekolah pun, teman-teman baru kamu juga pasti akan mengintimidasi kamu. Jadi semua sama saja Binta."

Jawaban yang Bama lontarkan sontak saja membuat tubuh Binta yang semula terduduk tegak seketika langsung melemas, Binta menundukkan kepalanya dan hanya berdiam diri selama beberapa detik. Sehingga membuat Bama khawatir dan saat mau memeriksa keadaanya, Binta malah mengangkat kepala.

"Kak Bama benar! Aku harus tetap sekolah di sekolah aku yang lama, meski banyak cibiran, aku yakin bisa melawan mereka."

Respon acungan jempol dan sebuah tepuk tangan Bama berikan pada perempuan yang baru ia kenal tadi pagi. Bama pikir Binta akan meraung sedih saat menunduk tadi nyatanya ia sedang berpikir tentang apa yang harus ia putuskan. Senang sekali rasanya dengan sosok Binta yang begitu kritisi, tidak mudah terpuruk dan mau mendengarkan saran orang lain.

***

Next cerita, akan mulai ada beberapa konflik yang lebih seru lagi.

BAMA BINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang