Bab 125. SAMA-SAMA TAHU

Start from the beginning
                                    

"Bawahnya masih sakit ga?"

"Masih. Ga bisa dicukur." Aida terpaksa berbohong padahal bagian itu sudah tidak sakit lagi.

Tapi dia percaya padaku? Dia membiarkan dan tidak jadi mencukurnya? Aida tadinya tak yakin bualannya itu bakal didengar. Tapi memang Reiko membiarkan untuk satu bagian itu.

Dia mendengarkan dan justru mengambilkan handuk untuk Aida.

"Ini sikat gigi dulu sambil aku cuci dulu itunya."

Reiko menyerahkan sikat gigi di saat dirinya mencuci sesuatu yang ada darahnya itu.

Dia sekarang mencucinya di hadapanku. Jadi dia mencucinya seperti itu? Hah, bahkan lebih bersih dari aku? Dan ... dia udah gak muntah-muntah?

Beruntung sekali memang ini sudah hari keempat dan darahnya juga sudah tidak sebanyak kemarin. Tapi tetap saja melihat seorang pria membersihkan roti sobek strawberrynya itu membuat Aida merasa terganggu. Dia tak bisa bicara apapun dan memilih untuk menyikat giginya agak lama sampai Reiko datang mendekat.

"Lama sekali sikat giginya?"

"Gigiku sakit."

"Heh? Bagian mana? Belakang bukan? Apa mau tumbuh gigi bungsu? Mau cek ke dokter?"

Dih, perhatian sekali dia? Aida hanya berbisik begitu di dalam hatinya sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Tapi sakit gigi itu nggak bisa disepelein. Gigi yang bolong itu bisa membuat bakteri masuk ke dalamnya. Lebih parah lagi jika bakterinya itu masuk lagi lebih dalam ke pembuluh darah. Dia akan melukai pembuluh darah dan akan terbawa ke aliran darah." Mata Reiko kini menatap tajam beradu dengan tatapan Aida yang sebetulnya ingin menghindar namun tak bisa.

"Banyak orang tidak punya riwayat penyakit jantung. Tapi karena gigi bolong bakteri itu juga bisa menyumbat jantung. Mengganggu peredaran darahnya dan menyebabkan penyakit kardiovaskuler juga. Makanya perawatan gigi itu memang sangat penting."

Pintar juga dia tahu yang seperti itu. Aida tapi tidak berkomentar karena di saat yang bersamaan Reiko juga sudah membawanya ke kamar.

"Sudah selesai. Ada lagi yang kamu butuhkan?" Dan dalam lima menit ke depan Aida juga tidak bicara apapun membiarkan Reiko memakaikan pakaian untuknya tanpa dia merespon seperti boneka.

"Aku nggak butuh apa-apa," seru Aida tak mau banyak bicara. Dia masih melakukan aksi diamnya sesuai dengan apa yang sudah diancamkannya.

KALAU REIKO TETAP MEMAKSA MANDI BERDUA MAKA AIDA AKAN MELAKUKAN AKSI DIAM.

Dan terbukti dia memang hanya bicara seperlunya saja tak mau mengobrol.

Dia bawa baju. Jadi paper bag itu isinya bajunya? Tapi dia tidak mau memakainya? Aida menggerutu sambil membuang wajahnya karena pria itu mengganti pakaian di dalam kamar, Aida tak peduli dengan ini atau memikirkan tentang harga dirinya yang harusnya malu.

Ya tak perlu malu. Kami sudah mandi bareng. Dia bahkan tidur tanpa memakai itu semua jadi aku anggap saja yang aku lihat itu adalah bayi berusia satu tahun.

Aida menggelengkan kepalanya, bingung sendiri dirinya harus bagaimana untuk membuat otaknya tetap positif.

"Kenapa kamu? Masih marah denganku?"

Iya aku masih marah denganmu. Dan aku tidak suka bagaimana kamu memperlakukanku. Bagaimana jika hatiku retak? Tidak boleh, aku tidak boleh jatuh cinta padanya tapi aku melihat sendiri dia membersihkan darahku sama sekali tidak jijik dan ini adalah urusan biologisku. Aida sebenarnya kepikiran sekali soal ini juga selain kekesalannya dengan Reiko.

"Hmmm." Makanya dia bingung menjawab ini karena pikirannya kusut sekali dan kepalanya seperti ingin meledak melihat bagaimana perlakuan pria itu.

"Maaf ya Pak jadi harus cuci. Saya benar-benar minta maaf kalau untuk itu. Tapi selebihnya saya jijik sama Bapak. Terus saja mengotori mata saya, namun gimana juga saya juga harus berterima kasih karena Bapak merawat saya."

Dan butuh keberanian yang cukup besar untuk Aida mengeluarkan kata-kata itu.

Tapi itu apakah memberikan pengaruh pada Reiko?

"Udah pinter basa-basi kamu sekarang?" Justru dia mendekat pada Aida sambil menyindir begini.

"Padahal sebenarnya hati kamu juga nggak mau mengatakan ini dan pasti menyalah-nyalahkan aku karena ini mauku sendiri. Terus kamu juga dalam hati pasti merasa gak hutang budi karena ini bukan kamu yang nyuruh. Gitu kan?"

Orang ini aku sudah berusaha untuk berdamai dengannya tapi dia tetap saja membuatku kesal. Masih baik Aida memiliki mental yang sehat saat dirinya membuka mulut karena Reiko ingin memasukkan obat untuknya.

Dia selalu begitu karena melihat tangan Aida yang diperban.

"Pinter Bapak. Tau aja apa yang ada di pikiran saya." Dan setelah menenggak air minum membuat obat itu terbawa arus ke tenggorokannya Aida menjawab sesantai ini.

"Gadis sepertimu tidak mungkin aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Bilang terima kasih dan maaf aja nggak ikhlas."

"Memangnya Bapak ikhlas cuciin? Pasti Bapak ngomel-ngomel juga kan dalem hati? Sial banget hidupku kenapa juga harus ngurus beginian? Wanita yang menyebalkan itu kenapa juga harus menikah denganku? Mungkin Bapak juga bilang kalau enggak ada hubungan denganku Bapak enggak terganggu dengan kekasih Bapak, gitu kan?"

"Hmmm." Reiko mengangguk di saat dia sudah memunggungi Aida dan duduk menghadap ke arah laptop yang baru dibukanya.

"Ya sama-sama tau ajalah apa yang ada di pikiran masing-masing. Jadi jangan berpikir yang aneh-aneh padaku." Tentu saja Reiko tidak melihat cibiran Aida ketika dia bicara lagi.

"Kalau mau tidur lagi tidur lagi aja. Nanti urusan makan biar aku yang buat, kamu nggak usah mikirin itu."

"Nggak Pak saya jam segini enggak pernah tidur lagi."

"Tapi kan kamu lagi nggak solat?"

Reiko masih membelakangi Aida saat dia bicara. Terlihat sibuk dengan layar laptopnya yang sudah menyala dan satu tangannya mulai membuka berkasnya juga.

"Udah Pak nggak usah ngurusin saya. Bapak urusin aja kerjaan Bapak," jawab Aida yang berusaha membuka laci nakasnya dan mengambil sesuatu dari sana.

"Bismillah."

Hanya itu kata-kata yang terdengar oleh Reiko sebelum Aida tak mengajak bicaranya lagi.

Aida hanya berdzikir dan berdoa dengan bibirnya saja yang bergerak. Dia tidak membuat keributan apapun, sehingga suasana cukup mirip dengan di ruang kerja Reiko. Membuatnya bisa berkonsentrasi meski kursinya tak terlalu nyaman, hanya kursi kayu.

Tapi kerjaan yang menumpuk memaksanya fokus, hingga:

"Hhhhh."

Dia berdoa sambil menangis?

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now