Bab 120. BIAR GAK BASAH

35 5 1
                                    

"Heisssssh!" gemas Reiko

"Eh, ampun, jangan main tangan napa Pak."

Aida baru kena jitakan dari Reiko. Tak sakit sih tapi tetap membuat dirinya menggerutu.

"Makanya kalau ngomong yang bener. Kalau kamu ngomongnya kayak gitu terus ngegas sama aku, ya jangan salahin aku kalau aku emosi."

"Ya kalau enggak Bapak minta deh sama dokter Silvy kasih saya perawat."

Reiko sudah ingin menggendong Aida, tapi saat itu juga tangan wanita itu menahan. Dia malah mengajukan protes lagi seperti ini.

Aida masih mencoba mencari cara bernegosiasi dengan Reiko untuk kebaikan mereka bersama.

"Kalau ada perawat kan Bapak enggak perlu ngurus saya susah-susah. Dan saya bisa minta tolong sama perawat, Pak. Ga sungkan gitu, sama-sama perempuan kan."

Ya ini lebih masuk akal, bukan? Dengan begini Reiko tidak perlu sibuk-sibuk mengurusnya. Bukankah dia selalu menggerutu dan mengatakan Aida membuatnya membuang waktu?

Tapi saran yang sangat bagus ini apakah akan diterima oleh Reiko?

"Kamu mau ada orang tahu apa hubungan kita di dalam sini gimana?" sengit Reiko

"Kamu memanggil saya Bapak nanti dia akan ngadu ke Silvy. Mau bilang apa? Kita enggak tidur sekamar, mau alesan apa? Brigita ke sini, aku nanti bagaimana menjaga harga diriku di depan dokter Alif? Ini Indonesia yang masih pegang kultur soal pernikahan, bukan Eropa atau Amerika. Mikir coba punya otak tuh."

"Hiiiish." Aida mengusir-ngusir tangan Reiko yang tadi jari telunjuknya berada di dahinya membuat kepalanya bergerak dari depan ke belakang.

"Ya salah sendiri kenapa Bapak enggak nikah ama Ratu lebah kesayangan dan kecintaan Bapak aja kalo ga mau dibilang kumpul kebo?"

"Dah, berhenti bicara!" sentak Reiko. "Jangan bikin aku harus menyelesaikan urusanku makin lama lagi," seru Reikoyang membuat Aida pasrah.

Percuma aku minta. Iya percuma karena kami sekarang dalam kondisi yang sulit, pikir Aida lagi yang tidak mau terus-terusan mengomel.

Dia pasrah saat ini digendong oleh Reiko meskipun Aida mencembungkan pipinya juga. Toh pria itu tidak mencuri pandang padanya dan tatapannya lurus ke depan.

"Sudah kubilang kamu jangan mikir--"

"Nggak Pak saya masih waras. Saya nggak akan kepikiran kalau Bapak suka sama saya dan Bapak jatuh cinta sama saya." Sambil jalan, Aida sambil bicara.

"Karena ...?" Seakan-akan Reiko belum puas dengan jawaban Aida.

"Karena Bapak punya wanita yang begitu sempurna. Ratu lebah. Cocok banget sih. Royco sama ratu lebah?" Aida mikir sebentar. "Kayaknya kurang pas gitu, deh Pak. Mungkin kalau panggilannya Ajinomoto baru cocok Pak sama Royco. "

"Jangan sembarangan kamu!"

Untung saja Aida tak dibanting di tempat tidur.

Tapi sepertinya dia tidak marah digoda seperti itu, selidik Aida di saat Reiko menaruh kedua tangannya di samping kanan kiri Aida dan dia sedikit membungkuk membuat Aida mundur sedikit ke belakang.

"Pokoknya hati-hati kamu kalau bicara di depan Brigita. Aku tidak suka kalau kamu menghinanya begitu. Apalagi kalau dia sudah mengamuk dan mengomel. Pening kepalaku, ngerti?"

"Hehehe. Berarti kalau saya ngomong begini depan Bapak nggak apa-apa?"

"Ya kalau moodku lagi bagus. Kalau nggak ya kamu kena juga," jawab Reiko di saat dirinya sudah bertolak pinggang di hadapan Aida dan berdiri tegak.

"Kena juga. Iya sih." Wanita itu pun manggut-manggut. "Paling kena pukul lagi. Atau dicambuk? Ah bener-bener KDRT," cibir Aida lagi.

"Kamu tuh kalau ngomong sedikit pakai otak coba. Jangan ngomong aneh-aneh terus kayak gitu."

Reiko bicara sambil menuju ke arah kamar mandi.

"Bapak mo ngapain? Saya udah sembuh Pak. Bapak jadi nggak perlu repot ngurus ... hyaaaaak." Aida kesel dia langsung membuang matanya tak menatap ke arah Reiko.

"Ngapain Bapak buka celana Bapak depan saya?"

"Ya kalau aku nggak buka celana trainingku, basahlah mau mandiin kamu. Lagian aku buka celana di luar kamar mandi bukan di depan kamu. Dan harusnya kamu natap aja ke arah pintu. Kamar mandi kan di samping kiri kamu."

"Jawaban yang membagongkan Pak." Aida mengerucutkan bibirnya. "Saya bisa mandi sendiri Pak. Saya udah nggak apa-apa Pak. Dan Bapak nggak perlu lagi mandiin saya. Saya bukan anak umur lima tahun yang gak bisa mandi dan terus kakaknya harus mandiin. Dan Bapak itu bukan kakak saya bukan siapa-siapa saya."

"Tanganmu begini. Gimana caranya?"

"Hhh, lepasin tangan saya."

"Ssssh." Mana mau Reiko. Dia memegang pergelangan tangan Aida cukup kencang membuat wanita itu terpaksa harus menatapnya.

"Kalau celana Bapak basah juga nggak apa-apa. Daripada Bapak pake anduk gitu doang?"

"Nggak betah aku. Lagian aku mau di kamar mandi ngapain aku pakai celana kayak gitu?" seru Reiko yang kini sudah mengangkat Aida masuk ke kamar mandi.

"Pak--"

"Sssh, diamlah. Kalau kamu ngeluh terus kerjaanku nggak selesai-selesai."

"Pak tapi saya --"

"Diam kamu." Setelah mendudukan Aida di kloset mereka menatap wanita itu dalam-dalam.

"Gimana juga kamu tuh terikat denganku," ujarnya sambil memegang tangan Aida dan membuka perban. "Aku mau buka bajumu juga bukan masalah, kamu statusnya istriku. Lagian di sini aku juga hanya ingin membersihkan tubuhmu. Bukan mau ngapa-ngapain."

"Ha--"

Baru juga mau ketawa Aida langsung kicep ketika mata Reiko menatapnya lagi.

"Jangan sampai kamu bikin kesel terus aku kelepasan lagi, emosi lagi dan marah lagi sama kamu, mukul kamu lagi."

Aku sudah menolaknya berkali-kali. Aku memintanya untuk tidak melakukan ini tapi orang ini tetap saja melakukannya. Dan tidak tahukah dia rasanya malu kalau wanita membuka tubuhnya di depan seorang lelaki?

"Nggak usah nangis kayak gitu. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu kok. Cengeng banget sih? Emang aku ngapain?"

Ya memang Aida tadi marah betul dengan Reiko dan minta pria itu untuk tidak memandikannya karena tangannya sakit alasan Reiko. Dia yang menyabuni ke seluruh bagian tubuhnya.

"Siapa juga yang nangis karena cengeng sih Pak? Saya itu nangis karena saya emosi. Gimana coba nggak emosi? Tubuh saya dipegang-pegang sama Bapak semuanya sampai ke bagian-bagian yang seharusnya nggak boleh dipegang."

"Mana ada suami gak boleh pegang bagian tubuh istrinya?"

"Suami rasa majikan?" Aida sudah ngegas.

"Iya dong, gimana juga strata aku lebih tinggi dari kamu kan." Tapi dijawab sangat tenang sekali oleh orang yang kini mengambil sesuatu di dekat wastafel.

"Hahaha."

Masih bisa Reiko membuat Aida emosi sambil mendengar ucapannya itu. Membuat wanita itu matanya terbelalak kesal.

"Udah bersih, tinggal bagian yang kamu tutupin pakai tangan kamu aja." Reiko menunjuk bagian yang ditunjuknya dengan jari telunjuk. Dan tangan kanannya mengulurkan sesuatu pada Aida

"Mau nyukur sendiri atau mau dicukurin?"

Sebuah barang yang membuat Aida menelan salivanya dan menggelengkan kepala pelan sambil bicara:

"Nanti aja."

"Sekarang!" sentak Reiko membalas ucapan Aida yang berbisik.

"Jijik aku liat panjang begitu, perempuan itu harus bersih."

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now