Bab 119. UANG SEJUTA

Start from the beginning
                                    

"Cih." Reiko yang sudah sampai di dapur langsung tolak pinggang menatap Aida.

"Aku selamanya mau tinggal sama kamu? Pikir coba pakai otak yang bener."

"Hahaha."

Senang sekali dia menertawaiku? Anak ini memang kalau bicara tidak pakai dipikir dulu apa? Dari mana aku mau dia tinggal terus bersamaku? Menjadi baby sitter-nya gitu? Hah, aku bukan Reyhan Dharma Aji yang seumur hidup mau mengurus istri kecilnya Vanessa. Lihat saja, ini belum sehari aku bersama dengannya tapi dia sudah membuatku kecapean kayak babu gini, keluh hati Reiko, ngedumel melihat Aida yang tak peduli dengan omongan Reiko.

Aida memang santai sekali. Dia tak memikirkan itu. Semua masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri. Membuat pria itu juga tak mau berdebat panjang dengan wanita yang kini masih tergelak tawa.

Justru Reiko sudah mengambil plastik-plastik sampah. Dia tak betah rumahnya banyak sampah apalagi sekarang sudah menjelang malam hari.

Reiko ingin mengeluarkan itu semua.

"Pak baju saya itu masih bagus-bagus Pak. Baiknya Bapak jangan buang ke tempat sampah."

Tapi kata-kata Aida ini menghentikan langkah kakinya.

"Siapa juga yang mau pakai baju kayak gini."

Reiko membawa dua plastik sampah yang pertama dari keranjang sampahnya sendiri yang kedua dari kardus-kardus dan satu lagi yang di tangan kanannya ini memang baju bersih semua.

"Pak kalau di tempat sampah dibungkus begitu nanti dibuka sama pemulung dan itu udah kotor bajunya. Udah kecampur sampah. Tapi baju itu kalau kita kasih ke orang, masih bisa dipakai. Masih bisa disedekahin. Baju-baju saya yang saya bawa ke sini enggak ada yang robek-robek kok, Pak. Saya juga bingung dari mana Bapak liat itu bukan baju yang pantas."

"Katunnya itu jelek. Bukan katun seperti itu yang dimaksud katun. Bahan yang kamu punya itu semuanya barang murah."

"Tapi biar itu semua murah, masih ada yang bisa pakai Pak. Contohnya aja orang di pinggir jalan. Anak yatim piatu yang di pinggir jalan. Banyak Pak yang masih minat sama baju-baju itu. Minimal baju itu bisa dipakai sama mereka dan selama baju itu dipakai sama mereka masih ada pahala mengalir untuk saya." Aida bicara menggebu-gebu.

"Dan sama saja konsepnya seperti baju yang Bapak berikan ke saya itu juga akan mengalir pahalanya untuk Bapak selama saya pakai baju-bajunya. Termasuk pahala yang Bapak bisa dapat kalau Bapak nyekolahin adik saya. Apa yang adik saya pelajarin itu pahalanya juga tetap ngalir selama Bapak ngebiayainnnya ikhlas. Cuma kan Bapak kayaknya nggak ikhlas gitu ya soalnya kan Bapak mau nyekolahin adik saya biar ngiket saya sama Bapak dengan perjanjian itu kan?"

"Heish, anak ini kalau bicara membawa orang setinggi langit lalu menghempaskannya ke bumi."

Lagi-lagi Reiko mencibir.

"Hehehe."

"Sudahlah jangan membual saja padaku. Pekerjaanku masih banyak."

"Ih Bapak nggak percaya sama saya?" Aida membuat Reiko tak melangkah lagi.

"Bener tau Pak yang saya bilang itu. Apalagi kalau Bapak ngasihnya ikhlas ke saya. Karena kalau Bapak nyumbangBapak nggak ikhlas juga tetap aja akan dibales Pak. Kan balasannya bisa juga di dunia. Misalnya Bapak bisa bersama dengan kekasih Bapak nanti. Selalu ada jalan mudah buat orang-orang yang suka bersedekah."

Entah apa sekarang yang dipikirkan Reiko ketika sudah mendengar itu.

"Jadi intinya kamu nggak mau buang ini?" tanya Reiko sambil mengangkat plastik bag yang berisi pakaian Aida.

"Tetep akan dikeluarin dari rumah ini. Maksud saya dari apartemen Bapak tapi enggak untuk dibuang di tempat sampah, Pak. Nanti biar saya cari tempat penampungannya."

"Ya sudah terserah kamu ajalah. Tapi kamu urus yang benar karena aku gak suka kalau apartemen ini jadi tempat sampah dan penampungan barang bekas."

"Orang itu bicaranya kalau nggak nyelekit nggak bisa apa ya?"

Aida bertanya-tanya sendiri pada dirinya di saat Reiko sudah keluar membuang sampah.

"Ah ya sudahlah terserah dia aja yang penting bajuku nggak dibuang sembarangan dan aku bentar lagi masuk kamar dan intinya aku terbebas darinya tak lagi perlu melihat wajahnya. Hehe."

Ini bayangan yang menyenangkan untuk Aida.

Makanya dia sudah senang sekali minimal setelah ini dia tidak melihat Reiko lagi apalagi sekarang langit sudah mulai berwarna kejinggaan.

Di Jakarta memang jamnya lebih lambat sejam dari di Bali.

"Aku rasa aku sudah mulai bisa menggerakkan tanganku tanpa nyeri dan mungkin aku bisa minta buka perbannya? Dia tidak harus mengurus lagi pembalutku dan yang lainnya."

Masalahnya memang Aida sedang haid jadi dia masih memikirkan tentang pembalutnya.

"Pak kalau perbannya dibuka gimana? Tangan saya dah gak sakit kok."

Makanya setelah Reiko masuk, pertanyaan itu pun diberikan olehnya.

"Jangan macam-macam kamu. Jangan bikin masalah baru yang membuatku pening!" ujar Reiko saat berjalan ke dapur.

"Haaah."

"Kenapa kamu narik nafas kayak gitu?" tanya Reiko yang kini matanya sudah menatap Aida di saat tadi dia baru selesai mencuci tangan.

Setelah mengeluarkan sampah Reiko tidak langsung datang pada Aida. Dia adalah orang yang cukup bersih dan suka kebersihan. Makanya tak ingin membawa kotoran mendekat pada luka-luka Aida.

Dan memikirkan kalau Reiko akan datang padanya menggendong dirinya, ini membuat Aida merasa risih sehingga timbul sebuah ide di otaknya.

"Bapak punya uang nggak Pak sejuta?"

"Kamu kalau nanya mikir dulu nggak sih?" kesal Reiko, makanya dia menaruh tangannya di pinggang matanya menyorot pada Aida. Tak mengerti kenapa dia harus diberikan pertanyaan seperti itu?

Reiko punya apartemen besar. Masa iya uang sejuta doang dia enggak punya?

"Hehehe, nanya dulu Pak. Bapak punya nggak? Kalau punya mungkin bisa kasih uangnya ke saya?"

"Kamu mau beli apa?"

"Ini Pak, ada tau Pak yang jual kursi roda bekas. Dan harganya paling gak sampai sejutaan Pak. Kalau Bapak beliin saya itu gimana?"

"Cuman tiga hari sakitnya aja minta kursi roda."

"Ya daripada kayak gini Pak. Bapak gendong-gendong saya terus. Nggak pegel itu tangannya Pak? Apa jangan-jangan Bapak muna ya, sebenernya seneng gitu gendong saya ke mana-mana?"

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now