Bab 107. MENGARANG INDAH

Mulai dari awal
                                    

"Makanya kakek ndak perlu khawatir kalau aku di sini akan mengalami KDRT. Mas Reiko sangat baik. Bahkan aku tidak boleh melakukan apapun di rumah ini. Mau bersih-bersih taman saja tidak boleh. Semuanya dilakukan sama housekeeping."

"Nah, bener itu. Buat apa dia cari uang banyak-banyak kalau istrinya di rumah harus mengurus semua kebersihan di rumah? Nanti tanganmu jadi kasar. Nanti kamu kelelahan. Belum lagi kamu itu kan baru sembuh sakitnya, kamu ndak boleh capek-capek."

Reiko juga tidak menatap pada kakeknya ketika dia mendengar pembicaraan ini.

"Kalau suamimu bisa masak juga ya lebih bagus. Laki-laki itu memang harus bisa masak supaya kalau istrinya sakit bisa masakin."

"Hihi, Kakek itu ngomongnya mirip banget sama kakekku,"

"Mirip bagaimana?"

Hingga Adiwijaya jadi penasaran maksud Aida apa.

"Kakekku pernah bilang gitu ke Lingga pas lagi masakin kami. Waktu itu, cuma kakek yang ada di rumah karena nenek dan ayahku lagi nungguin ibu yang mau ngelahirin Lestari. Dan Lingga sempat nanya kenapa kakek kan cowok bisa masak."

Yang dimaksud oleh Aida adalah kakek dari ayahnya, Laksono. Karena kakek dari ibunya itu sudah meninggal saat dirinya dilahirkan.

Dan yang dikatakan Aida ini membuat Adiwijaya pun tersenyum simpul.

"Ya dia memang begitu. Dan aku banyak belajar memasak juga darinya."

"Beneran Kek?"

Adiwijaya pun mengangguk cepat.

"Kami itu dulu teman dekat. Susah senang bareng di awal masa kemerdekaan Indonesia. Kami sering menghabiskan waktu mengobrol dan bermain bersama kalau aku ikut membeli cengkeh dengan ayahku. Makanya kami jadi dekat, sampai aku dekat dengan ayahmu juga." Adiwijaya seperti mengenang masa lalunya, masa kecil dan mudanya dulu.

Tapi memang semua kenangan itu tidak semuanya menyenangkan untuk diingat dan membuat jantungnya sedikit sakit berdetak. Sehingga dia kembali menatap Aida.

"Oh ya, ngomong-ngomong apa kegiatanmu di sini?" Adiwijaya memilih untuk membicarakan masa sekarang saja, sebelum dia memikirkan terlalu jauh tentang masa-masa itu.

"Wah banyak Kek, ndak bisa disebutin satu-satu kegiatanku tuh."

Aduh. Aku harus membual apa lagi nih? bisik hati Aida, terpaksa harus putar otak.

Padahal tadi sudah enak-enak dia sedang membicarakan tentang kehidupan Adiwijaya. Apa sekarang dia harus menjelaskan sesuatu tentang dirinya lagi?

"Lho kok ndak bisa disebutin satu-satu piye?" Adiwijaya tak mau menyerah.

"Kegiatanku di sini sibuk banget kakek. Aku kadang baca buku, terus aku juga banyak aktivitas lain, banyak banget kek."

"Aktivitas apa di rumah sampe banyak begitu? Kamu ndak disuruh bersih-bersih rumah kan?"

"Ndak kakek. Kan ada housekeeping."

Aida bicara cepat menghindari Adiwijaya yang tampaknya curiga, membuat Aida makin nervous.

"Harusnya kamu lebih banyak keluar dan harusnya suamimu lebih banyak membawamu keluar, bukan di rumah saja."

"Nah itu maksudku kakek."

Aida pun menjentikkan jarinya, seakan-akan Adiwijaya baru saja memberikan clue sebuah ide untuk dirinya membuat karangan baru.

"Kegiatanku itu lebih banyak di luar sekarang daripada di rumah. Mas Reiko sering banget ngajak aku jalan-jalan. Pagi-pagi kami sudah olahraga di Senayan. Terus kadang-kadang weekend kami juga jalan-jalan. Udah gitu kalau malam sering diajakin wisata kuliner juga. Aku jadi kenal banyak-banyak tempat di sini, kek. Dan Jakarta itu bagus sekali, lebih bagus dari di kampungku karena lampu-lampunya banyak banget. Jadi kelap kelip warna warni, terang banget. Aku suka, tambahan lagi, ramai sekali ndak ada sepinya."

Bidadari (Bab 1-200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang