Bab 103. SEPERTI SUNDEL BOLONG

Start from the beginning
                                    

"Hyaaak. Kenapa Bapak buka kerudung saya?"

Kesal Aida karena Reiko bukan hanya bicara tapi tadi tangannya bergerak cepat dan menarik kerudung bergo-nya.

"Kamu masih berstatus istriku, mau aku buka bajumu sekalipun juga tidak ada yang bisa melarangku." Bahkan tidak ada rasa bersalah sama sekali Reiko mengatakan itu.

Jelas saja ini membuat Aida langsung refleks menyilangkan tangannya di depan tubuhnya.

"Sssh, untuk apa disilangkan begitu? Tidak ada dua yang menonjol yang membuat aku tertarik untuk melihatnya kok," sindir Reiko lagi.

"Ooo, iya bener pak. Hehehe, jadi Bapak nggak akan buka baju saya kan?"

Aida memang tidak ada takut-takutnya pada Reiko.

"Tapi cepet balikin kerudung saya Pak. Apa jangan-jangan Bapak pengen ngeliatin rambut saya? Bagus ya rambut saya?"

"Ssssh. Kalau ngomong dipikir dulu." Reiko menaruh jari telunjuknya menuding-nuding dahi Aida sambil satu tangannya melempar kerudung Aida entahlah ke mana, sekenanya saja.

"Bagaimana kamu di make up kalau misalkan masih pakai kerudung ini, hmm? Pikiranmu itu ya jangan mesum terus!" sentak Reiko sambil tangan Reiko berusaha mencari apa yang dia bisa gunakan untuk Aida.

"Tapi Pak, saya beneran nggak bisa make up, Pak. Kalau lihat tutorial juga saya nggak ngerti yang ada nanti muka saya jadi kayak gimana?"

Makanya dia semakin sengsara rasanya melihat Reiko menyiapkan sesuatu yang tidak mau ditatap olehnya. Aida masih membelakangi meja rias itu.

Karena duduk di kursinya sekarang pun rasanya panas dan dia gak betah. Duduk di kursi yang biasa diduduki Brigita ini sangat menjijikan untuknya.

"Pak, turunin, mo dibawa ke mana lagi?" Aida mengomel ketika Reiko yang sudah menyiapkan semua alat-alat make up kembali menggendongnya.

Mau apa lagi dia bawa aku ke kamar mandi? Jelas saja pikiran Aida sudah ke mana-mana.

"Memang kamu mau make up tidak dilap dulu apa wajahnya? Yang pasti kita bersihkan dululah."

"Hah? Gak mauuuuuuu. Saya nggak mau pakai sabun mukanya ratu lebah, Paaaak!"

"Ssssst, jangan teriak-teriak. Di depan masih ada housekeeping!"

"Maaf Pak. Tapi saya nggak mau pakai punya pacar Bapak itu."

"Pakai punyaku." Reiko mengangkat sabun mukanya saat dia sudah mendudukkan Aida di wastafel dan tak lagi pakai persetujuan ...

"Saya juga punya Pak sabun muka."

"Sabun muka yang kamu gunakan itu sabun muka yang dijual umum di pasaran. Itu belum tentu bagus. Kamu nggak tahu zat aditif apa yang ada di dalam sana dan apa itu memicu sel kanker atau enggak? Apa bagus nggak untuk tubuh? Cemaran dari partikel-partikel kecil di tubuh kamu itu nantinya kayak gimana kamu kan enggak ngerti? Padahal kamu seharusnya sebagai survival kanker kamu tahu memilih mana yang bagus atau tidak dari produk-produk yang kamu pakai," omel Reiko sambil menggerakkan tangannya menggosok di wajah Aida yang memejamkan matanya.

"Nah ini emang produk sabun muka Bapak bagus?"

"Aku nggak asal beli sabun muka. Aku nggak asal pilih skin care apa yang aku harus gunakan. Ini tapi nggak cocok buat mukamu, karena ini untuk laki-laki," seru Reiko yang kini mengambil spon untuk mengusap wajah Aida.

"Jadi cuci mukanya nggak langsung dibersihin pakai air Pak? Pakai spon dulu?"

"Hmm, ini karena aku nggak mau ngebasahin baju kamu."

"Oooo."

Sesaat Aida tidak fokus pada make up nya. Tapi sekarang,

"Ayo cepat kita harus urus wajahmu."

Lemes kembali dirinya mendengar itu.

"Pak, saya pakai cadar aja deh Pak."

Saat Reiko membopong tubuhnya lagi masuk ke dalam walkin closet Aida kembali negosiasi.

"Pak, lagian kalau Bapak nyuruh saya make up saya pasti nggak akan bisa Pak," protes Aida lagi dengan wajah memelas.

"Lihat aku."

Reiko bicara sambil mengambil bandana.

"Aku nggak nyuruh kamu pakai make up sendiri." Lalu menaruhnya di kepala Aida, sambil bibirnya berucap begitu.

"Heeeeh?"

"Diam. Aku pasang ini dulu supaya rambut kamu nggak kemana-mana ganggu make up-nya," protes Reiko

"Bapak mau make up-in saya? Emang Bapak bisa?"

"Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Kamu nanya saya bisa apa nggak make up-in kamu?"

"Hahaha."

Disindir oleh Reiko dengan kalimat itu Aida malah terkekeh.

"Kamu tuh ya. Sebentar lagi kakekku datang dan aku sedang buru-buru, berisik aja," ketus Reiko.

"Eeeh." Aida sontak langsung memegang tangan Reiko dan menghentikan tawanya.

"Pak, jangan coba-coba deh Pak kalau nggak bisa nanti gawat nih Pak." Aida masih melarang pria itu untuk mendekat pada wajahnya.

"Aku bilang diam!"

Kursi Aida masih membelakangi cermin. Sehingga dia hanya bisa memandang wajah Reiko yang terlihat serius itu.

"Itu apa Pak?"

"Make up blender."

"Harus diairin terus dipres dulu baru ditempelin ke muka saya gitu Pak?"

"Kamu diem coba jangan banyak nanya," seru Reiko melotot.

Bicara sedikit aja dimarahin. Nanya nggak boleh. Aduh mukaku jadi kayak gimana nih? Dia beneran bisa nggak sih make up-in? Tapi kok dia ngelihatnya serius kayak gitu? Kayak bener-bener bisa. Duh, tapi hatiku nggak percaya. Kayak ada firasat buruk jadinya --

Maklum saja selama make up Aida tidak boleh bicara apapun. Jadi yang bisa dia lakukan hanya bicara saja dengan hatinya sendiri.

"Pak --"

Karena setiap dia mulai bicara ...

"Aku bilang diam. Jangan ganggu konsentrasiku!"

Selalu saja disemprot dengan kata-kata yang sama seperti itu.

"Tutup matamu."

"Si Pak Roy pasti ingin pakaikan aku eyeshadow ya? Tapi aku kan nggak pengen ke kondangan?"

"Aku tahu kamu nggak mau ke kondangan. Jadi diam dan jangan ganggu konsentrasiku atau aku akan bikin mata kamu seperti sundel bolong!"

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now