Peluru yang menembus tubuh bian

17 2 0
                                    

"Jika dia menyentuhmu... Aku bersumpah, akan segara menghabisi nyawanya." Suara Bian berteriak di balik telepon.

Entah kenapa, Aku malah takut jika Bian menyakiti, bahkan sampai menghilangkan nyawa gadis yang ada di hadapanku ini.

Dan mungkin saja dalam waktu singkat, Dia segera sampai di rumahku.

"Kamu bukan anak kecil lagi kan? Kamu harus mencerna setiap ucapan dari mulut orang lain, sebelum menelannya mentah-mentah," Ucapku pada gadis yang tengah mengintip lewat ventilasi udara.

Klik!

Aku memutar kunci pintu laku membukanya. Mendorong kaki yang tengah berada di atas meja, sampai jatuh ke lantai.

Segera berlari dan menindih tubuh perempuan itu sebelum dia bangkit. Aku benar-benar muak berhadapan dengan orang-orang seperti ini.

"Sudah ku bilang.... BUKAN AKU PELAKUNYA! Aku berfikir seribu kali, untuk menyakiti seseorang. Aku juga kehilangan... aku ditinggal sendirian oleh keluargaku. Aku tidak memintamu untuk mengasihani, aku hanya ingin kamu tahu, bahwa kita berada di posisi yang sama."

Dadanya turun naik, dia melepaskan pisau yang ada di genggamannya.

Aku mencengkram atasan yang ia kenakan. Tidak peduli jika atasan itu terangkat dan memperlihatkan dadanya.

"AKU BUKAN PELAKUNYAAAAA!" Kembali berteriak garang di hadapan perempuan yang terbaring di lantai.

Dia hanya diam, matanya memerah.

"BANGUN! DAN SEGERA PERGI DARI RUMAHKU! SESEORANG AKAN DATANG. DIA BISA MENGHABISI NYAWAMU. TOLONG PERGIIIIII!"

Aku yang panik, menarik pakaian atasnya hingga terbuka. Dia pasrah saat bajunya acak-acakan karena ulahku. Menarik tubuhnya menuruni tangga, dia harus keluar dari rumah ini sebelum Bian datang.

"Orang tuamu memperlakukan aku dengan baik. Dia memperlakukan aku seperti anaknya sendiri. Aku yakin dia mendidikmu dengan cara yang benar. Tolong jangan termakan omongan orang lain. Tidak masalah jika kita tidak bisa berteman, tapi tolong jangan datang sebagai lawan."

Kuharap dia dapat mencerna ucapanku. Kuharap dia mengerti, bahwa tidak ada alasan  untukku menghilangkan nyawa ibunya.

Menyeretnya untuk melangkah lebih lebar lagi, menuruni anak tangga. Jangan sampai Bian datang, sebelum dia berhasil pergi. Karena aku tidak akan bisa mengehentikan pria itu dalam bertindak nantinya.

Wajahnya datar, air matanya jatuh ke pipi.

"PERGILAH!"

Aku mendorong tubuhnya dengan kuat saat berada di pintu utama.

"Buang dendam itu jauh-jauh. Aku merasakan apa yang kamu rasakan. Seharusnya kita bisa berteman, tapi jika kamu tidak mau, maka pergilah! Aku tidak ingin ada pertumpahan darah di rumahku. Orang tuamu pasti sedih di sana."

Dia hanya diam dan terpaku. Sebelah tangannya mengusap air mata.

"Dira... jauhi pria bernama Ronald itu. Dia sangat berbahaya. Kamu akan kehilangan masa depan, jika berada di dekatnya."

Dia menarik atasan pakaian, yang ia kenakan. Menutupi dadanya yang terbuka. Wajah itu tidak lagi garang, dia menunduk.

"Pergilah!"

Dia melepas high heels yang ia kenakan, berbalik badan dan berlari.

"Diraaaa jangan datang lagi sebagai lawanku ya... Jangan datang sebagai orang jahat. Aku sendirian disini!" Berteriak padanya yang berlari menjauh.

Dia berhenti dan menoleh, lalu kembali berlari.

Sebuah taksi online telah menunggunya di ujung jalan.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now