SEMUANYA JAHAT

19 3 0
                                    

Jimmy...

Dia yang tadinya tertunduk, mendongakkan kepala. Bersamaan dengan itu, Franky juga ikut menggonggong di sampingnya.

Wajah yang terkena sorotan lampu mobil bagian depan itu, tampak marah. Marah melihat Bian yang membantuku turun dari mobil.

"Pulanglah... Aku tidak ingin ada perkelahian setelah ini. Aku bisa turun sendiri!" Aku menepis tangan besar itu yang merangkul pinggangku.

"SIAL4N! KAMU MEMBAWANYA PERGI DAN MEMULANGKANNYA DALAM KEADAAN TERLUKA PARAH!"

Jimmy menyerang Bian dari arah belakang. Saat Bian membalikkan tubuh, Jimmy memukul wajahnya.

Meski memiliki ukuran tubuh yang sama, tapi aku tahu Bian bisa saja membalas pukulan Jimmy. Dia telah terlatih untuk membunuh, terlatih melindungi diri, terlatih untuk melawan. Berbeda dengan Jimmy. Dia tidak terlatih untuk membunuh. Pukulan nya hanya melukai, tanpa menghilangkan nyawa.

Tapi untuk kali ini Bian tidak melawan. Dia memilih melindungi wajahnya dengan kedua tangan.

Meskipun terkadang, lutut Jimmy terarah ke perutnya.

Franky masih terikat di gagang pintu rumahku, jika sampai anjing itu lepas, tentu dia akan membantu tuannya untuk melukai Bian.

"Tolong hentikan! Aku baik-baik saja.... Jimmy ayo kita masuk!"

Berusaha melerai perkelahian ini.

"LUKA DI TUBUHNYA TIDAK KUNJUNG KERING! KAMU SELALU DAYANG MENGHAMPIRINYA. SELALU MENAMBAHKAN LUKA DI SETIAP TUBUHNYA. AKU HARAP KAMU MATI SEKARANG!" Jimmy menghantam tubuh Bian hingga terjatuh.

Aku merangkul pinggang Jimmy, menahannya untuk tidak menindih tubuh Bian yang sudah terbaring di tanah. Meski tidak bertenaga, aku mendekapnya erat untuk menjauh.

Beruntung Jimmy tidak lagi menggebu-gebu. Dia berhenti menyerang Bian. Malang sekali pria itu. Tubuhnya belum sempat beristirahat, tapi selalu mendapat pukulan.

"PERGILAH! JANGAN DATANG LAGI DAN MENGANGGU NIANA!"

Jimmy mengangkat tubuhku, membawaku pergi meninggalkan Bian yang tengah mengusap bibirnya yang penuh darah.

WOOF! WOOF!

Franky menggonggong saat melihatku. Membawanya ikut masuk ke dalam rumah.

"Hampir saja aku putus asa Niana... mendapatimu yang tanpa kabar sampe 5 hari lamanya. Bahkan aku berpikir, bahwa Tuhan telah menjemputmu." Jimmy berlutut di hadapanku.

"Aku sudah pulang Jimmy! Aku baik-baik saja..." Aku memeluk kepala yang menunduk itu.

"Niana... kenapa selalu menantang maut? Apa kamu tidak ingin menua bersamaku? Punya keturunan yang lucu. Mungkin tidak akan ada lagi wajah rupawan, hanya akan ada kerutan di tubuh setelahnya. Tapi kita tidak akan pernah bosan, karena kita akan saling menyayangi. Apa kamu tidak ingin seperti itu? Kamu mungkin kuat menghadapi apa itu kehilangan. Tapi tidak denganku Niana... aku belum siap untuk itu. Dan aku rasa, aku tidak akan pernah siap."

"Aku hanya kehilangan separuh rambutku, jangan khawatir Jimmy..." Aku menyentuh wajahnya.

"Jangan membuat lelucon... aku hampir mengakhiri hidupku Niana." Tangannya merangkulku, dan memelukku erat.

Tanpa memberitahu, aku yakin dia tidak tidur beberapa hari ini. Mata itu terlihat sayu, terdapat banyak botol kopi di depan pintu.

Oh Jimmy...

Aku benar-benar merepotkannya. Bagaimana cara, untuk membuatnya berhenti peduli. Aku membutuhkannya, tapi tidak untuk merepotkan hidupnya secara terus-menerus.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now