Bidikan yang mengenai bola mata

15 3 0
                                    

Anak panah itu menancap pada bagian paha. Dalam hitungan detik darah mengalir dengan derasnya.

Kembali mengambil anak panah, mengarahkannya ke arah gadis itu. Dia menjerit dan memaki, berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.

Anak panah itu kembali meleset. Untuk kali ini, mengenai buku jari gadis itu.

Sprei dan juga selimut yang tadinya berwarna putih, sekarang penuh dengan bercak darah.

"Kurasa tidak akan ada hukuman yang mampu untuk menebus dosa mu, karena telah menghilangkan nyawa keluargaku."

Tidak berhenti melayangkan bidikan ke arah Ghea. Beberapa bidikan meleset, dan hanya mengenai ranjang. Sedangkan 2 bidikan lainnya, berhasil mengenai tubuh yang ditutupi oleh selimut itu.

Belasan anak panah berkumpul di ranjang yang penuh darah. Tersisa satu anak panah lagi yang ada di tangan.

Kali ini tidak boleh meleset. Anak panah ini harus bisa kembali melukai gadis itu. Dia bukan anak remaja yang berperilaku seperti anak-anak lainnya, dia sakit jiwa, dan dia berbahaya.

Memicingkan sebelah mata, fokus pada tubuh yang dibalut oleh selimut itu. Aku tidak tahu mana kaki dan mana kepala.

Menarik busur panah, melepas bidikan.

"ARRRRGHHHT!"

Selimut putih itu terbuka, gadis itu mengerang kesakitan. Mencoba melepaskan tiga panah beruntun
yang mengenai betis, paha, dan lengannya.

Mendapati luka parah pada bagian lengannya. Anak panah itu berhasil merobek daging di lengan bagian kanan.

Berlari menghampiri, naik ke atas kasur, mengemasi kembali anak panah yang berserakan.

Saat dia berhasil melepas anak panah dari tubuhnya, dia meraih tanganku. Aku mendorongnya untuk menjauh, tubuhnya terbaring di atas kasur empuk itu.

Tapi dia tidak putus asa, meski dalam keadaan berdarah, dia masih mencoba meraih pakaianku dan menarik tubuhku.

Mata garang itu mengancam.

"Aku tidak percaya kamu punya 9 nyawa Niana... Harusnya kamu mati waktu itu, disaat bolpoin menancap di lehermu." Tubuhnya yang berada di bawahku, berusaha menjatuhkan tubuhku.

Namun aku lebih dulu, untuk meraih anak panah yang ada di samping kepalanya. Mengangkat anak panah itu, lalu mengarahkannya ke wajah Ghea.

Dua tangan itu melepas kerah pakaianku, mengigil saat melihat panah yang terarah pada bola matanya.

Aku menduduki tubuh yang hanya mengenakan pakaian dalam itu. Memberi tekanan yang kuat, agar anak panah menyentuh matanya.

Wajahnya mengingatkanku pada kesalahan dan dosanya. Kesalahan dia telah menghabisi kedua orang tuaku di waktu bersamaan, lalu menghilangkan nyawa adikku Talitha.

"Uuuuuggght!"

Wajahnya berubah kemerahan, berusaha menahan tekanan yang amat kuat dariku.

"Bukan aku punya 9 nyawa... aku hanya belum diizinkan untuk mari, Ghea. Mungkin kamu yang akan lebih dulu terbuang ke neraka."

Menaikkan lutut kaki ke dadanya, semakin memberi penekanan pada anak panah yang mengarah ke wajahnya.

Tidak pernah aku menghabiskan waktu dengan berkelahi sebelumnya. Dari aku kecil hingga aku dewasa.

Tapi keadaan ini, menuntut ku untuk tidak  menjadi perempuan lemah. Tidak akan ada lagi Niana cengeng, yang menangis di kamar mandi.

Jika Ghea masih diberikan Tuhan umur yang panjang, setidaknya aku harus bisa merusak tubuhnya. Membuatnya cacat, dan tidak berguna.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now