Napas pria gila itu menyapu wajah

15 3 0
                                    

Terdengar helaan napas dalam dan panjang dari Jimmy.

"Jimmy... setelah merenggut nyawa keluargaku, mereka juga tidak membiarkan aku hidup tenang. Mereka berani mendatangi rumahku. Mereka berani menyerang ku. Aku harus melihat satu persatu orang-orang terdekatku terluka. Aku harus melihat Pamela tersandar di dinding, dengan tangan yang tertancap paku. Mereka menganggapku lemah. Yaaa... meskipun aku tahu aku lemah," ucapku dengan suara parau.

Tidak ada bantahan atau jawaban dari mulutnya. Jimmy hanya mendengarkanku yang tengah mengeluarkan keluh kesah.

Jimmy menarik tubuhku untuk tidak lagi duduk di tepian gedung. Kamu tidak lagi menjuntaikan kaki ke bawah. Karena jika terlalu banyak bergerak, bisa-bisa membuat kamu jatuh ke bawah sana.

"Sini... berbaring!" Ucap Jimmy menepuk pahanya. Di bawah langit yang kuning keemasan, dengan angin yang kian berhembus kencang, aku membaringkan diri di pangkuan Jimmy.

Harus melihatnya yang tengah memperhatikan aku.

"Ayo lanjutkan lagi ceritanya... ayo lanjutkan mengeluarkan semua keluh kesah yang tersimpan di dada. Aku akan mendengarkannya Niana..." Sebelah tangannya berada di kepalaku.

Jimmy selalu bisa menjadi tempat berbagi. Dia tidak pernah mencari celah, untuk menasehati atau menyudutkan di saat aku bercerita. Aku lebih suka di dengarkan, daripada di nasehati. Tapi jika ada masukan, Aku ingin dia mengatakannya setelah aku selesai bercerita.

"Setidaknya setelah mereka mendapatkan serangan, untuk sementara waktu mereka tidak mengunjungi rumahku. Tidak menyerang untuk menyakitiku. Aku rasa merek akan sibuk menghabiskan waktu, mengobatinya luka di setiap tubuh," ucapku menghembuskan napas kasar.

"Niana... Kuharap langkahmu selalu di iringi tuhan." Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Jimmy.

Aku tersenyum menatapnya.

Masih menyaksikan Matahari yang belum menghilang. Membiarkan angin menerpa wajah. Di sini benar-benar damai. Aku merasa saat aku berada di ketinggian, tidak ada yang dapat menggapai dan menghampiri.

***

Senin pagi.

Bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Telah memasukkan beberapa perlengkapan dan juga bekal untuk makan siang.

Berangkat lebih awal, agar aku dapat menyambangi kediaman Pamela, untuk mengetahui keadaannya.

Kasihan sekali Pamela, harus mendapat banyak luka di tubuhnya, karena dia ikut masuk ke dalam masalah yang menimpaku.

Ku harap tidak ada adegan-adegan menegangkan lagi untuk hari ini. Cukup untuk hari kemarin. Aku belum punya tenaga yang cukup, untuk kembali bertarung. Karena aku bukan Srikandi, aku tidak terlatih untuk itu.

Jika aku sampai bertahan sekarang, itu hanya faktor keberuntungan dan campur tangan Tuhan. Jika tidak, aku mungkin sudah menyusul semua anggota keluargaku.

***

"Bagaimana lukamu?" Tanyaku menghampiri Pamela yang menghabiskan waktu di kamarnya.

"Sudah membaik... hanya saja rasa ngilu itu datang ketika aku menggerakkan tangan. Mungkin seminggu ini aku tidak akan masuk kerja," jawabannya.

"Aku baru saja menyerang Leo dan Ghea, namun aku belum bisa melumpuhkan Bian yang telah melukaimu!" Pamela membulatkan mata, saat aku menceritakan semua yang terjadi pada Sabtu pagi kemarin.

Pamela langsung saja meraba tubuh, laku menyingsingkan lengan bajuku.

"Apa kamu juga terluka?" Tanyanya.

Aku menggeleng.

"Tapi aku berhasil melepas bidikan dan mengenai mata Leo dan melukai tubuh ghea. Mereka tidak akan Merani mengunjungi rumahku lagi setiap malam hari."

jasad adikku Di plafon Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz