siluet di mobil pamela

15 3 0
                                    

Pria itu membawaku pergi menjauh dari parkiran. Sekuat apapun aku berteriak, namun tidak ada satu bantuan pun yang datang.

Saat kamu telah jauh dari bar, pria itu menurunkannya tubuhku.

"Ternyata ini yang kamu lakukan?" Menyadari pria yang membawaku pergi adalah...Jimmy

"Ayo pulang!" Jimmy menarik tanganku menuju motor besar yang terparkir tidak jauh dari kami.

Dia melepaskan jaketnya, menutupi bagian tubuhku yang terbuka.

Dari lampu jalanan, dapat kulihat raut wajah yang menahan emosi itu.

"Pamela masih ada di bar. Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja," ucapku saat Jimmy memintaku untuk naik ke atas motor besaran.

"Ayo Niana, pulang!" Jimmy mengabaikan ucapanku

Aku menoleh ke belakang, hanya mendapati gelap. Kuharap, pamela bisa keluar dari bar dengan selamat.

Jimmy menyerahkan helm yang cuma ada satu padaku. Dia tidak banyak bicara, membawa motor melaju kencang di kegelapan malam. Kalau begini, aku tahu pasti dia marah besar.

Tidak sekali dua kali dia memberi peringatan, namun berkali-kali.

Motor besar milik Jimmy kini berhenti di depan rumahku. Aku segera turun.

"Bagaimana caranya memberitahu perempuan pembangkang sepertimu? Kamu bisa saja dilecehkan, diperk*sa, dibunuh, dimutilasi, dan dicampakkan seperti binatang." Jimmy meluapkan amarahnya.

Tangannya mengguncang tubuhku, dia hampir berteriak di hadapan wajahku.

"Harusnya kamu tidak mengabaikan laranganku. Di dunia ini kamu hanya tinggal sendirian. Tidak ada orang tuamu yang memperingati."

Aku meringis saat cengkraman pada lenganku semakin kuat. Melihat itu, dia melepaskanku

"Justru karena aku tidak punya orang tua, tidak punya keluarga. Aku harus bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Geha sekarang ditahan, tapi hidupku masih tidak aman. Berdiam diri di rumah pun, aku bisa saja mati," balasku.

"Kamu selalu melakukan pembelaan. Kamu mengabaikan orang-orang yang khawatir dengan keadaanmu. Kamu egois sekali Niana."

"Jimmy, seandainya kamu jadi aku... Apa kamu bisa duduk manis di dalam rumah, disaat Anggota keluargamu tewas mengenaskan?" Aku melontarkan pertanyaan itu pada pria yang berdiri di hadapanku ini.

"setidaknya aku tidak akan berlaku gegabah, dan membahayakan diriku sendiri. Mengabaikan orang-orang yang peduli," ucapnya.

"Tidak usah menaruh rasa peduli lagi padaku. Urus saja dirimu sendiri. Aku tidak punya waktu berdebar dan memikirkan yang lainnya. Baiknya,kita berpisah saja." Aku melepaskan helm yang aku kenakan, lalu menyerahkannya pada Jimmy.

Mendengar kalimat yang keluar dari mulutku, Jimmy panik. Menahanku untuk tidak pergi dan masuk ke dalam rumah.

Membanting pintu di hadapannya.

"Tolong Niana.... Aku hanya  mencemaskan keselamatanmu. Jika perkataan yang aku ucapkan menyakiti, tolong maafkan. Kamu boleh marah. Kamu boleh memukulku. Tapi jangan ucapkan kata pisah. Aku tidak akan bisa hidup tenang, meninggalkanmu sendirian. Maafkan aku Niana.... Maafkan aku."

Suara itu memohon di balik pintu.

"Kita masih sama-sama muda. Kita harus fokus sama masa depan dan cita-cita. Teruntuk kamu, terimakasih selama ini sudah peduli. Pulanglah Jimmy... Jangan biarkan dirimu sibuk mengurusi hidupku." Hampir menangis aku mengucapkan kalimat itu.

Ya aku memang egois. Mengabaikan orang-orang yang peduli. Tapi kurasa ini pilihan yang tepat, agar Jimmy tidak menghabiskan waktunya hanya untuk mengurusku.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now