GERGAJI MESIN DI DEPAN WAJAHKU

13 2 0
                                    

"Kembalilah... Ada penyusup yang masuk ke dalam pabrik penggilingan daging!" Ghea yang ada di sudut ruangan, menelepon seseorang.

Gadis dengan pipi yang terluka parah itu menatap tajam ke arahku. Bisa-bisanya dia masih bertahan sampai sekarang, di saat banyak luka bersarang di tubuhnya.

Lengan, kaki, paha, serta kepala, semuanya tidak luput dari luka serangan.

"Bian... Apa kamu membawanya ke sini untuk melenyapkannya juga? Seperti yang kamu lakukan pada Talitha, adiknya."

Sakit sekali hatiku mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ghea. Sempat aku membuang jauh-jauh dugaan itu. Tapi apa yang di ucapkan Ghea, tidak dibantah oleh pria yang ada di sampingku.

Wajah tegas itu, menunduk menatap lantai.

"Bodohnya kamu Niana... Bisa-bisanya kamu tertipu, Bisa-bisanya kamu mengakrabkan diri dengan pria yang menghabisi nyawa adikmu. Bian yang membunuh Talitha, Bian pelakunya. Dan mungkin saja setelah ini, nasibmu akan sama dengan adikmu itu. Tidak akan ada lagi sainganku. Tidak akan ada lagi yang mampu menyaingi aku dalam platform itu."

Aku hanya mendengarnya mengoceh sedari tadi. Tidak tahu hendak menjawab apa. Dia masih berusia 19 tahun, tapi tingkahnya seperti orang dewasa. Cara bicaranya, pola pikirnya, dan tindakan licik. Karena normalnya, gadis berusia 19 tahun, tidak berlaku aneh seperti itu.

Selang beberapa lama, terdengar suara mobil di luar sana. Aku yakin, para pekerja di rumah Ronald kembali karena mendapat panggilan dari Ghea.

Bian yang ada di sampingku, berlari mendekati pintu. Berusaha menahan pintu agar tidak dibuka dari luar. Menopang pintu dengan besi berukuran besar yang ada di sisi kiri. Mengangkat bejana-bejana besar, dan menaruhnya di depan pintu.

"Niana jauhi perempuan itu!" Teriak Bian yang sedang berusaha mencegat orang-orang yang hendak masuk ke dalam pabrik.

Tatapanku kembali tertuju ke arah Ghea. Gadis itu berjalan dengan terpincang-pincang, ke arahku.

Mungkin jika tidak ada parang di genggamannya, aku dapat menyerangnya lebih dulu. Dengan kondisinya yang cacat, harusnya Aku tidak akan kalah. Melihat Patang itu, mengingatkanku pada Leo. Di mana dia dan ayahnya menyerangku dan Pamela.

Aku berlari ke arah meja persegi panjang berukuran besar yang ada di ruangan ini. Mencoba menghindar dari Ghea, yang tengah memainkan pedang di tangannya.

"Berlagak seperti manusia suci, tapi dengan gampangnya kamu ikut dengan siapa saja yang baru dikenal. Sudah tidur berapa kali, dengan pria bernama Bian itu? Apa rasanya enak?" Kalimat buruk itu keluar dari mulutnya.

Sedari tadi mataku tertuju pada parang yang ada di tangannya. Parang yang sengaja di gesekan, pada meja yang terbuat dari besi di hadapanku ini.

"Kasihan sekali kamu Ghea... Hidup Luntang-lantung seperti ini. Tidur di pabrik penggilingan daging. Apa Leo dan Ronald tidak mau membawamu ke rumah mereka? Apa mereka tidak mau menampung gadis cacat sepertimu?" Membalas sakit hatiku, dengan mengeluarkan kalimat itu.

Gadis itu berhenti memainkan parang yang ada di tangannya. Matanya tajam menatap ke arahku. Dada itu turun naik. Wajahnya memerah. Aku rasa, kalimatku berhasil menyakiti hatinya.

"Adikku menganggapmu teman. Dia rela di marahi orang tuaku, hanya untuk membelamu. Sebenarnya kamu tidak layak mendapatkan pembelaan tuduhan orang tuaku itu benar. Kamu itu membawa pengaruh buruk."

Mendengar kalimatku dia kembali melangkah.

Aku lari saat gadis itu mengitari meja panjang untuk mengejarku. Aku meraih apa saja yang ada di meja, lalu melemparkannya ke arah Ghea.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now