24 : Begin Again?

1.8K 214 88
                                    

Posisi saat ini terasa canggung.

Aku duduk sembari menyesap teh yang baru saja diseduh oleh Abian. Aku memperhatikan rumah Abian yang dominan warna klasik, hitam dan putih. Satu hal yang pasti, warna kesukaannya tidak berubah setelah sekian tahun.

"Kamu apa kabar? Saya belum menanyakan kabar kamu.." ujar Abian membuka percakapan.

"Kabar saya? Tidak terlalu buruk.." jawabku seadanya.

"Kabar saya buruk."

"Kenapa?"

"Kamu tahu jawabannya."

Aku menatap manik mata Abian, sorot matanya terlihat lelah.

"Lalu apa?"

"Wanda, kamu tahu sejak awal apa yang saya inginkan."

"Abian, satu kebiasaan buruk yang enggak berubah dari kamu ya ini. Kamu selalu buat saya bertanya-tanya. Kamu menyenangkan, menyelamatkan, menjadi pahlawan buat orang lain. Tapi kamu enggak pernah mikirin perasaan saya, enggak pernah terpikir konsekuensi dari tindakan kamu itu bisa menyakiti hati orang di sekitarmu atau tidak. Kamu selalu membuat kesimpulan bahwa saya tahu segalanya, bahwa saya pasti paham tanpa pernah berdiskusi langsung dengan saya."

"Kamu tahu sejak awal saya tidak pandai menggunakan kata-kata dan saya bodoh dalam mengekspresikan diri. Saya sendiri pun frustasi dengan diri saya, Wan." jelas Abian sembari mengacak rambutnya.

"Saya beri kamu kesempatan untuk menyampaikan maksud kamu. Kalau masih tidak jelas, saya benar-benar mundur Abian." ucapku dengan tegas.

Tidak bisa kupungkiri seberapa keras aku menolak Abian, semesta seakan selalu mempertemukanku kembali kepadanya. Setelah pertemuan terakhir dengan Abian, aku tidak pernah mendengar desas desus Abian menjalin hubungan dengan perempuan lain. Abian terlalu fokus pada rumah sakitnya dan Jihan kala itu sehingga tak jarang kesehatan akhir-akhir ini terlihat menurun. Informasi tersebut kudapati dari Mama Abian yang sampai sekarang tak pernah putus kontak denganku.

"Saya tidak bisa pisah lagi dari kamu, Wan. Saya tahu saya bodoh, pengecut, egois. Saya mau memperbaiki diri saya dan hubungan kita Wan."

"Lalu? Apabila enggak berhasil?"

"Saya tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi."

"Dari mana asalnya kepercayaan dirimu itu?"

"Saya sudah cukup gila selama bertahun-tahun memikirkan kamu dekat dengan pria lain."

"Oh, itu belum apa-apa Abian." gumamku.

"Maksud kamu apa Wan?"

"Saya lebih gila melihat kamu menikah dan mempunyai seorang putri tanpa penjelasan yang masuk akal di saat saya sedang terpuruk."

Abian menundukkan kepalanya, "Saya sangat menyesal, Wan."

Aku berusaha untuk mengatur emosiku saat ini. Namun, di saat hening menyelimuti aku dan Abian. Aku melihat Abian memalingkan wajahnya sembari menghapus tetesan air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya. Aku menatap Abian dengan tatapan tidak percaya, "Kamu menangis?"

"Saya sangat menyesal. Saya frustasi. Saya tidak bisa membayangkan hari-harimu saat itu. Saya sangat egois, Wan.."

"Simpan air matamu Abian."

Aku memeluk tubuh Abian yang entah kenapa terasa sangat kurus, berbeda dengan tubuh atletisnya beberapa tahun yang lalu.

"Saya harap kita bisa jadi teman."

"Teman?" tanya Abian sembari menatapku dengan lekat.

"Iya, teman."

"Kenapa harus teman?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 26 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Impressive PartnerWhere stories live. Discover now